Episode 2 Gibah yang Islami

Esai, Literasi233 Dilihat

Seputar Pendidikan #42

Aldi Hidayat

Episode sebelumnya telah menjelaskan separuh dari 15 pengecualian gibah yang dibolehkan. Episode pamungkas ini akan menuntaskan 7 sisanya. Apa saja gerangan? Berikut penulis paparkan secara perlahan. Pertama, gibah tentang orang guna mewaspadakan orang lain akan bahaya orang tersebut. Jikalau Anda mendapati teman Anda sedang akrab dengan seseorang yang sebenarnya adalah preman, maka tidak apa-apa bagi Anda membeberkan identitas asli si preman tersebut. Pasalnya, ini bertujuan menyelamatkan teman atau siapa saja dari bahaya preman. Meski demikian, pewaspadaan ini bukan berarti melegalkan permusuhan terhadap si preman. Pasalnya, memusuhi orang kontraproduktif dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.

Baca Juga: Episode 1 Ghibah yang Islami

Kedua, gibah tentang orang yang terang-terangan berbuat bid’ah. Bid’ah adalah perilaku agamis yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW. Pencontohan Nabi SAW bukan berarti Nabi SAW tidak pernah melakukannya. Jika bid’ah diartikan demikian, maka membaca mushaf al-Qur’an termasuk bid’ah. Pasalnya, Nabi SAW tidak pernah membaca al-Qur’an dalam bentuk tulisan. Beliau membacanya dalam wujud hafalan. Demikian pula beliau tidak mempelajari al-Qur’an dari manusia, tapi dari malaikat Jibril. Jadi, belajar al-Qur’an pada manusia adalah bid’ah. Selain itu, Nabi SAW tidak pernah blak-blakan merekomendasikan pembukuan al-Qur’an. Tak ayal, peristiwa ini sempat memicu perdebatan sengit antara Abu Bakr ra dan ‘Umar ibn al-Khaththab ra. Demikianlah segelintir efek samping, apabila kita memaknai bid’ah secara harfiah.

Kedua, gibah tentang orang yang menyembunyikan bid’ah. Tidak hanya gibah tentang orang yang terang-terangan mengajarkan bid’ah, ghibah tentang orang yang merahasiakan bid’ah juga merupakan kebolehan. Pasalnya, resiko bid’ah ialah rusaknya agama, bahkan pondasi-pondasinya. Karena itu, mencari-cari bid’ah yang dirahasiakan tidak hanya kebolehan, bahkan bisa menjadi kebutuhan. Hanya saja, sebelum mendakwa suatu hal sebagai bid’ah, penting terlebih dahulu mematangkan argumen tentang bid’ah. Hal ini demi menghindari kesalahpahaman dan kesesatan dalam melayangkan dakwaan. Alih-alih menuduh suatu pihak bid’ah, ternyata si penuduh sendiri yang malah melakukan bid’ah, yakni mudah membid’ahkan orang.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Mengenal TOEFL secara Akurat dan Selamat

Ketiga, gibah demi kepentingan rekonsiliasi. Dalam Islam, adalah tugas muslim mendamaikan saudaranya yang tengah bertikai. Pendamaian butuh terus-terang. Karena itu, dalam upaya rekonsiliasi, aib-aib masing-masing pihak harus diutarakan. Perdamaian tanpa terus terang akan menyisakan kekecewaan dan dendam. Terus terang dalam konteks rekonsiliasi adalah syarat mutlak untuk mencapai keadilan. Melalui terus terang, masing-masing pihak mendapat hak untuk berbicara sekaligus hak untuk mempertanggungjawabkan kekeliruan pihak lain atasnya. Jadi, sebelum menciptakan kedamaian, ciptakan dulu keadilan. Perdamaian tanpa keadialan hanyalah khayalan. Demikian petuah Gus Dur.

Kelima, mengadukan kejahatan seseorang pada pihak yang berwenang. Dalam dunia hukum, melaporkan seseorang satu padu dengan membeberkan aib atau kekurangan. Hanya saja, aib yang dipersoalkan adalah aib yang membuat si pelapor merasa teraniaya. Membeberkan aib dalam konteks ini bukan hanya kebolehan, tapi kewajiban. Pasalnya, orientasinya ialah keadilan, sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang harga diri si pelanggar aturan. Maka dari itu, cukup miris misalkan hukuman bagi koruptor menuai diskon dan keringanan hanya karena mempertimbangkan harga dirinya sebagai tokoh masyarakat, nasib keluarganya atau jasa-jasanya. Mestinya logika yang dipakai adalah kebalikan, yakni justru karena dia adalah tokoh masyarakat, maka sanksi atas kasus korupsinya harus sangat berat. Pasalnya, tokoh demikian telah menyalahgunakan wewenang yang tidak sebatas berakibat kekecewaan, tapi turut memberi kesan bahwa korupsi oleh rakyat biasa juga dibolehkan.

Ambil: Beasiswa S2 Kominfo Tahun Akademik 2022

Keenam, gibah tentang kafir harbi. Kafir dalam terminologi Islam ada dua, yaitu harbi dan dzimmi. Harbi berarti non-muslim yang memusuhi Islam. Sebenarnya tidak hanya demikian. Kafir harbi–meminjam analisa Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an–adalah non-muslim yang memusuhi satu di antara dua hal berikut, yaitu agama atau bangsa. Gibah tentang dua pihak ini bukan hanya kebolehan, namun juga keharusan. Pasalnya, gibah tentang mereka akan mengundang konsolidasi untuk melawan dalam rangka menegakkan keadilan dan kemerdekaan. Karena itu, mereka yang mencela balik penghina Islam tidak salah, karena akar masalahnya adalah si penghina. 

Demokrasi itu bukan menekan orang teraniaya dari melawan penganiaya. Karenanya, menyalahkan muslim yang menghina balik penghina Islam tidak sesuai dengan demokrasi. Pasalnya, si muslim memperjuangkan hak agamanya. Sebaliknya, si penghina malah melanggar hak asasi manusia di mana salah satu hak asasi ialah agama. Meski demikian, bukan berarti kita sah berbuat bar-bar terhadap penghina agama Islam. Betapa pun salahnya si penghina, harus ada tokoh yang berupaya meredam perlawanan. Tanpa peredaman, rawan terjadi aksi balas dendam, bukan aksi memberi sanksi. Memberi sanksi bertujuan memberikan efek jera, sedangkan balas dendam tidak lebih dari pelampiasan murka. Parahnya, balas dendam acapkali berupa respon yang berlebihan, sesuatu yang alergi bagi Islam.

Jangan Lewatkan Tonton: Pembacaan Puisi Ibu oleh D Zawawi Imron

Ketujuh, gibah tentang orang yang murtad. Menggosipkan orang yang keluar dari agama Islam adalah kebolehan. Hanya saja, kebolehan ini patut kita pertimbangkan ulang. Pasalnya, zaman demokrasi ini lebih memihak pada kebebasan, bukan keterikatan pada doktrin keagamaan. Karena itu, kebolehan menggibahi orang murtad mesti dikontekstualisasikan. Tanpa kontekstualisasi, Islam bisa menjadi korban, seperti stigma sebagai agama penjajah. Oleh sebab demokrasi menghendaki kebebasan, maka memperbincangkan orang murtad mesti lebih mengarah pada evaluasi diri sebagai komunitas muslim. Boleh jadi, keluarnya pihak yang bersangkutan dari Islam berakar pada lelaku muslim yang kurang mencerminkan kemanusiaan.

Demikian 7 terakhir pengecualian gibah yang dibolehkan. Pada akhirnya, Islam tidak mengajarkan gibah. Islam menghendaki kedewasaan. Salah satu kedewasaan ialah memperbincangkan keburukan orang demi perbaikan, entah perbaikan terhadap orang yang bersangkutan atau peringatan terhadap masyarakat umum agar tidak ikut-ikutan. Demikian. Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar