Episode 1 Ghibah yang Islami

Bantul, Kabar182 Dilihat

Seputar Pendidikan #41

Aldi Hidayat

Ghibah adalah membicarakan keburukan orang lain saat orang tersebut tidak di hadapan. Dalam bahasa gaulnya, ghibah disebut gosip. Pada dasarnya, Islam melarang ghibah atau gosip (saat tidak bersama orang yang dibicarakan) atau saat bersama orang yang bersangkutan, karena tidak berperikemanusiaan. Meski demikian, bukan berarti membicarakan keburukan orang adalah salah secara mutlak. Ada 15 pengecualian menurut Ibn al-‘Imad sebagaimana dicuplik oleh Syekh Nawawi Banten dalam karya beliau Qami’ al-Tughyan ‘ala Manzhumat Syu’ab al-Iman, bab cabang iman ke-69. Apa saja 15 pengecualian dimaksud? Penulis akan membelahnya menjadi dua bagian. Esai kali ini akan mengulas 8 darinya. Sisanya akan penulis teruskan di episode mendatang.

Pertama, meluruskan pembicaraan seseorang. Apabila seseorang berbicara salah atau keliru, maka tidak masalah meluruskannya, meskipun resikonya ialah orang tersebut menanggung malu. Perlu dicamkan bahwa yang diperbolehkan ialah meluruskan, bukan menjatuhkan. Keduanya beda, namun berdekatan. Meski berdekatan, tidak absah kita mencampuradukkan.

Kedua, memberikan konsultasi. Apabila ada seseorang meminta konsultasi yang mau tidak mau harus berurusan dengan aib, maka tidak masalah membeberkan aib dalam konteks ini. Pasalnya, membicarakan aib dalam konteks demikian adalah satu-satunya jalan guna mencapai tujuan yang lebih penting.

Ambil: Beasiswa S2 Kominfo Tahun Akademik 2022

Ketiga, menyebutkan aib panutan kepada pengikutnya. Misal ada seseorang mengagumi dan mengikuti suatu sosok. Sayangnya, orang tersebut tidak tahu akan aib bahaya yang terpendam dari idolanya tersebut. Dalam hal ini, tidak apa-apa kita membeberkan aib idolanya dalam rangka menyelamatkannya dari bahaya. Bahaya dimaksud bisa berupa kesesatan, anarkisitas, fanatisme buta dan lain sebagainya.

Keempat, membicarakan aib seseorang yang mengancam kepentingan bersama atau kepentingan publik. Dalam hal ini, membicarakan aib pemimpin menemukan landasan keabsahannya. Tidak hanya pemimpin, siapa pun yang mengancam kepentingan bersama, maka membicarakan aibnya adalah boleh. Hanya saja, aib yang dibicarakan bukan aib privat atau aib yang tidak mengancam ranah publik. Aib yang dibicarakan adalah aib yang memang berhubungan langsung dengan kepentingan bersama. Aib tersebut seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Kelima, memanggil orang lain dengan nama ejekan yang tidak ditemukan identitas lain kecuali nama yang bersangkutan. Misal, Anda hendak memanggil teman Anda yang biasa dipanggil, “Si Buta”, misalnya. Tidak ada identitas lain yang bisa langsung mengena kecuali identitas ini. Dalam konteks ini, tidak masalah Anda memanggilnya dengan nama ejekan tersebut, karena pada hakikatnya Anda tidak bermaksud mengejeknya, namun sekadar memanggilnya. Oleh sebab persediaan identitas tidak memadai, Anda terpaksa memanggilnya demikian.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Gempur Stagnan dengan Budaya Tandingan

Keenam, menjaga diri dari kerusakan. Dalam suatu forum misalkan, tidak masalah kita membicarakan aib seseorang. Ini asalkan pembicaraan tersebut untuk memperbaiki keadaan bersama. Dalam dunia organisasi, hal tersebut disebut evaluasi. Evaluasi seringkali enggan berbicara blak-blakan. Alasannya adalah tidak nyaman, kasihan dan lain seragam. Justru blak-blakan dalam diskusi lebih menyelamatkan, karena bisa meredam potensi ghibah atau gosip. Ghibah atau gosip dilakukan secara sepihak. Pembicara berbicara seenaknya. Dalam pada itu, tidak ada wacana yang membantahnya. Ketika tak ada yang membantahnya, maka pelaku ghibah secara tidak langsung telah melanggengkan dan mempertebal pembenarannya atas ghibah yang dia lakukan. Artinya, ghibah bukan malah menghentikan masalah, tapi memperparah. Pasalnya, hal itu semakin memupuk bibit-bibit benci.

Ketujuh, meminta fatwa. Fatwa adalah penjelasan hukum fiqih dari pakar untuk seseorang yang menanyakannya. Ini mirip konsultasi, tapi konsultasi bersifat meluas, sementara fatwa tertentu pada persoalan hukum Islam. Apabila fatwa berhubungan dengan aib orang, maka tidak masalah membeberkan aib orang tersebut. Pasalnya, tujuannya bukan merendahkan orang lain, melainkan memberi pengantar agar solusi hukum bisa diwujudkan.

Kedelapan, membicarakan aib yang diceritakan sendiri oleh pelakunya. Pada beberapa edisi sebelumnya, membicarakan dosa privat tidak diperbolehkan menurut Islam. Tak ayal, membicarakan dosa privat bisa berakibat tidak mendapat ampunan dari Tuhan. Persoalannya, bagaimana jikalau kita ikut membicarakan dosa yang disampaikan oleh pelakunya? Boleh, asalkan memenuhi dua syarat. Pertama, pelaku tersebut menceritakan dosanya hanya sebagai obrolan, apalagi sebagai kebanggaan, bukan ekspresi penyesalan. Kedua, kita menceritakan ulang guna menggertak kesadaran pelakunya bahwa perbuatannya adalah dosa. Sebaiknya ditinggalkan, bukan dikerjakan, apalagi diceritakan.

Baca Juga: UIN SuKa Bangun Kampus Baru di Bantul Yogyakarta

Demikian delapan pengecualian yang dibolehkan mengenai urusan membicarakan keburukan orang. Ini tidak hanya berlaku bagi orang lain, tapi berlaku bagi lembaga, agama, budaya dan lain sebagainya. Tujuannya bukan untuk merendahkan, namun untuk memperbaiki keadaan. Jadi, membicarakan keburukan orang atau kelompok hanya untuk sensasi sebenarnya tidak boleh menurut Islam. Pada akhirnya, membicarakan keburukan orang mesti mengacu pada kaidah berikut.

يغتفر في الوسائل ما لا يغتفر في المقاصد

Sesuatu yang tidak boleh dijadikan tujuan, maka tidak masalah, jika dijadikan perantara.

Membicarakan keburukan orang pada dasarnya adalah dosa. Hanya saja, ia baru sah disebut dosa, ketika tujuannya hanya untuk obrolan belaka, apalagi sebagai kesenangan pribadi. Sebaliknya, apabila ia dijadikan sarana untuk mewujudkan kebaikan, maka hal tersebut bukan suatu persoalan. Oleh karena orientasinya kebaikan, maka sebisa mungkin pembicaraannya tidak terlalu banyak bermuatan benci. Pasalnya, benci bukan solusi. Kebaikan hanya bisa dicapai dengan argumen, bukan sentimen, dengan opini, bukan emosi, dengan data, bukan murka. Demikian. Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar