Seputar Pendidikan #50
Aldi Hidayat
Pendidikan secara formal adalah pengajaran dan pendewasaan. Prakteknya berupa Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah atau kuliah. Jika bukan keduanya, pendidikan biasanya berlangsung di forum-forum yang lumrah dianggap bagian dari pendidikan, seperti seminar, diskusi, bedah buku dan lain sebagainya. Hanya saja, apakah pendidikan terbatas pada itu semua?
Secara umum, pendidikan dari sudut ruang lingkup dibagi dua. Pertama, pendidikan formalistik yaitu pendidikan menurut pemahaman yang lumrah, seperti sekolah, kuliah, jurusan pendidikan dan lain sebagainya. Kedua, pendidikan substansialis yakni pendidikan yang mencakup apa dan siapa saja. Secara substansialis, pendidikan tidak terbatas pada yang lumrah. Warkop, ruang tamu bahkan WC pun bisa menjadi ruang pendidikan. Hanya saja, semua itu akan efektif menjadi ruang pendidikan selama manusia menyadari potensinya bagi pendidikan.
Mengapa esai-esai sebelumnya ngalor-ngidul ke sana dan ke sini, sehingga nampak lepas dari pendidikan? Karena pendidikan tidak sebatas pemahaman yang lumrah. Kelumrahan acapkali mengekang luas dan luwesnya sesuatu. Contoh, mengapa banyak orang enggan memakai sarung saat ke pariwisata, padahal orang-orang tersebut adalah santri misalkan? Karena yang lumrah telah mendoktrin bahwa kalau ke pariwisata, maka pakaian yang cocok adalah celana jeans, kaos, kemeja atau semacamnya.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pola Pikir Dekonstruktif
Persoalannya, apakah berpakaian selain doktrin itu adalah kesalahan? Tidak juga, karena Islam hanya menuntut kita menutup aurat. Kalau begitu, mengapa kita mesti berpakaian sesuai standar yang lumrah? Karena kita terhegemoni oleh kelumrahan. Apakah mengikuti kelumrahan adalah kesalahan? Tidak juga. Hanya saja, apakah kita harus berdiam diri dalam zona lumrah, padahal kita menyadari ada hal penting yang selama ini terlupakan? Di situlah pentingnya mendobrak kelumrahan.
Esai-esai pada beberapa edisi sebelumnya berpangkal pada satu landasan bahwa pendidikan adalah gagasan tentang apa saja, bukan sebatas pemahaman lumrah tentang pendidikan. Hidup ini kompleks. Kompleksitas membutuhkan penalaran yang juga kompleks. Sudah menjadi kodrat alam bahwa kompleksitas itu inheren di dalamnya. Karena itu, dia yang tidak bisa berpikir kompleks atau rumit, maka akan digilas oleh kompleksitas dan rumitnya kehidupan.
Hanya saja, guna mencapai kompleksitas, ada setidaknya satu hadangan yang membudaya. Hadangan itu tidak lain kecuali paternalisme; budaya enggan membedai tetua, baik tetua negara maupun tetua agama. Dari situ, akal kita kerap digiring tanpa kita sadari untuk serba membenarkan mereka. Membenarkan sah-sah saja. Akan tetapi, serba membenarkan adalah gejala awal dari mempertuhankan.
Baca Juga: Call for Papers Akhlaqul Karimah
Persoalannya kemudian haruskah kita memusnahkan paternalisme? Tidak juga, karena hasrat memusnahkan berarti menyalahkan total. Telah ditegaskan pada esai di beberapa edisi sebelumnya bahwa totalitas berlawanan dengan kodrat alam. Artinya, tidak ada yang benar secara total. Demikian pula tidak ada salah secara total. Oleh sebab itu, kita butuh amunisi guna menyeimbangkan antara paternalisme dan kehendak akan pembaharuan.
Amunisi itu ialah beberapa pola pikir yang penulis kemukakan sebelumnya. Dari pola pikir apresiatif, kita tidak membabi buta dalam menyalahkan suatu gagasan dan gerakan. Pasalnya, pola pikir ini berpijak pada kesadaran bahwa seburuk-buruknya sesuatu pasti ada baiknya. Dari pola pikir kritis, kita tidak terkekang oleh fanatisme. Kepengikutan kita akan suatu hal bisa berlandaskan alasan dan landasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Pun juga, pola pikir kritis membuat kita melek akan kekurangan sesuatu yang selama ini kita agungkan. Kekurangan itu bisa berupa kepentingan yang berkedok pengetahuan.
Ambil: Beasiswa Kedokteran di 6 Kampus Ternama
Lewat pola pikir kontekstualis, kita tidak terperangkan literalisme dalam membaca sesuatu. Kita bisa menelaah keadaan di mana sesuatu tersebut muncul. Dengan begitu, kita bisa memperlakukan sesuatu sebagaimana adanya atau paling banter mendekati apa adanya. Melalui pola pikir ekstensifikatif, kita bisa menemukan jejaring makna dengan makna lainnya. Lebih jauh, pola pikir ini mengantarkan kita pada interrelasi antarpelbagai persoalan.
Adapun pola pikir dekonstruktif membuat kita tidak terburu-buru dalam memutlakkan suatu gagasan. Kemutlakan hanyalah hak preriogatif Tuhan. Kemutlakan mewujud dalam pencaharian manusia tiada henti akan pengetahuan, wawasan dan akhirnya kebenaran. Jika demikian, maka tidak sepatutnya kita totaliter dalam menyampaikan suatu gagasan.
Semua pola pikir ini membutuhkan keadaan pendidikan yang egaliter. Keadaan pendidikan di mana guru dan murid berdiskusi secara santai tanpa kekangan akan anti kritik yang bertopeng kesopanan. Keadaan itu adalah apa yang penulis sebut cangkrukan. Cangkrukan tidak bertujuan menghapus tatakrama, selaku senjata ampuh paternalisme bangsa dan negara.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Potret Eksistensi Nama
Cangkrukan adalah tawaran baru dalam memandang tatakrama. Bahwa tatakrama bukan berarti terlarang berbeda, mengkritik, lain haluan dan lain seumpamanya. Tatakrama adalah saat kita menghormati suatu pihak berdasarkan kesan, bukan berdasarkan pertimbangan pikiran. Tatakrama adalah saat kita membiarkan orang yang kita hormati selalu merasa benar. Penghormatan yang sesungguhnya ialah keberanian bertindak benar, bukan bertindak serba membenarkan. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
4 komentar