Oleh Ahmad Muchlish Amrin
Tentu saja, pandangan-pandangan yang meruyak dalam pikiran, nantinya akan membentuk persepsi substantif dalam hidup kita. Tak lain dan tak bukan merupakan pengejawantahan dari pandangan yang telah berubah pola menjadi pemikiran, keyakinan, perilaku, kebiasaan, nantinya akan menjadi tradisi pribadi bahkan bisa jadi bergerak menjadi tradisi komunal—-yang biasa kita sebut dengan budaya.
Dalam pada itu terdapat pandangan yang sama, pemikiran yang sama, keyakinan yang sama, yang kemudian menjadi perilaku yang sama. Lalu, apakah kesamaan tersebut menjadi keseragaman yang harus? Bisa jadi iya bisa jadi tidak. Iya, apabila di dalamnya meyakini bahwa kebiasaan yang seragam adalah keyakinan yang mutlak. Artinya kebiasaan bukan bermula dari kesamaan pandangan. Tidak, apabila kebiasaan itu diyakini sebagai pandangan yang boleh saja seragam atau boleh saja berbeda. Jika disederhanakan, meminjam terminologi dalam ilmu psikologi, dikenal apa yang disebut “normalitas” dan “abnormalitas”.
Ada seorang murid kelas TK, usia sekitar 5 tahun. Rambutnya lurus dan bagian tengahnya sedikit berombak. Ia semangat sekali menjalani kegiatannya di sekolah. Murid mungil dengan berat badan 25kg ini lucu. Ia riang dan disenangi banyak temannya. Di kelas ia tergolong murid yang biasa, hanya sekali waktu, ia membuat Ibu guru mulai perhatian padanya.
Kala itu, Ibu guru memberi tugas mewarnai pada murid-murid di kelasnya. Tentu tugas itu menyenangkan. Ibu guru membagikan selembar kertas bergambar sketsa buah jeruk. Ibu guru memberikan petunjuk-petunjuk dalam mewarnai secara detail. Sederha memang. Tapi prinsip mewarnai dijelaskan Ibu guru.
Jangan Lewatkan Baca Belajar Memandang
Anak-anak mendengarkan dengan seksama.
“Anak-anak! Apa kalian sudah siap menggambar?”
“Siap, Bu”
“Silakan mulai digambar. ”
Anak-anak sudah mulai menggambar. Mereka memperhatikan sket dan bersedia pensil pewarna. Tentulah ramai. Ibu guru meninggalkan kelas. Ia membiarkan anak-anak menggambar sendiri-sendiri.
10 menit berlalu. Ibu guru masuk lagi dalam kelas.
“Bagi yang sudah selesai, boleh dikumpulkan. ”
“Iya bu, ”
“Belum selesai, bu”
“Bu, si ini tadi lihat punyaku, bu!”
Begitu ramai. Riuh. Anak-anak mulai mengumpulkan lembar tugas menggambar. Bu guru memperhatikan hasil pekerjaan anak-anak didiknya.
Semua anak-anak dalam kelas itu mewarnai sketsa jeruk dengan warna orange. Kecuali satu. Ya, ada satu lembar yang diwarnai dengan warna hitam.
“Lho? ” Ibu guru mengangkat lembar itu. “Lembar ini punya siapa?”
Diam. Sunyi. Kemudian, dari pojok ruangan nyeletuk.
“Punya saya, Bu! ”
Ibu guru bangkit dari tempat duduknya. Pelan-pelan mendekati anak itu.
“Ini benar punyamu?” Bu guru sembari melihat nama dalam kertas itu. Anak itu mengangguk.
“Kalau boleh tahu,” Ibu guru membungkukkan badan. “Kenapa kamu mewarnai jeruk ini dengan warna hitam?”
Ia diam sejenak. Kemudian menatap wajah Ibu guru yang sedang senyum. “Boleh kan bu, kalau saya menggambar jeruk yang busuk.”
Senyum bu guru makin lebar. “Oh boleh..! Boleh!”
Ibu guru bangkit dan kembali ke tempat duduknya.
Penulis adalah Santri Kutub Yogyakarta
2 komentar