Dampak Krisis Iklim semakin Nyata, IIQ An Nur Yogyakarta Gelar Seminar Ekoteologi

Bantul2771 Dilihat
Dampak Krisis Iklim semakin Nyata, IIQ An Nur Yogyakarta Gelar Seminar Ekoteologi
Dari kiri: Maghfur MR, Dr. Ahmad Sihabul Millah, Dr. Zainal Abidin Bagir

 

ejogja.id – Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta menggelar studium general bertajuk Ekoteologi Islam dalam Perspektif Pendidikan dan Ekonomi pada Rabu (14/12). Dampak krisis iklim semakin nyata, IIQ An Nur Yogyakarta gelar seminar ekoteologi dalam perspektif pendidikan dan ekonomi.

Dipilihnya tema ini, seperti disampaikan oleh moderator Maghfur MR, tidak lain adalah untuk merespons perubahan iklim yang dampaknya semakin nyata di depan mata.

Maghfur mengatakan, banjir dan longsor yang terjadi di mana-mana merupakan contoh konkret darinya, yang dari sini siapa pun penting untuk memiliki kesadaran ekologis.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Hari Buruk Orang Baik

“Mudahnya, maksud dari ekoteologi dalam tajuk adalah penting membangun kesadaran lingkungan hidup yang dari situ kita bisa turut menjaga alam kita ini,” ungkapnya dalam diskusi yang diselenggarakan di auditorium utama kampus IIQ An Nur Yogyakarta.

Narasumber dalam seminar ini adalah Dr. Zainal Abidin Bagir Direktur ICRS UGM dan Dr. Ahmad Sihabul Millah Rektor IIQ AN NUR Yogyakarta.

Maghfur menyampaikan, keduanya memiliki fokus riset yang seirama, yakni agama, masyarakat, dan isu lingkungan hidup, sehingga adalah sesuatu yang penting bagi mahasiswa IIQ AN NUR Yogyakarta untuk memperbarui wacana mereka terkait agama dan ekologi. “Tidak lain, ini jugalah yang mendasari mengapa studium general kali ini penting untuk digelar,” katanya.

Daratan yang tenggelam

Diskusi ini dihadiri oleh sekitar 150 mahasiswa dari berbagai prodi ini. Narasumber pertama Ahmad Sihabul Millah mendiskusikan seputar tenggelamnya beberapa daratan di Jawa dan bagaimana masyarakat yang beragama, khususnya muslim, merespons hal tersebut.

Sihab memberi contoh dua daerah yang wilayahnya sudah terendam oleh laut, yakni Sayung Demak dan salah satu daerah di Kabupaten Pekalongan.

“Di Demak itu malah dampaknya dua sisi. Pertama daratannya ambles karena terlalu besar beban yang dipikul dan permukaan laut meningkat karena pemanasan global,” jelasnya

Kenapa ini bisa terjadi, lanjutnya, adalah karena sekarang sedang terjadi kekacauan iklim. Es abadi di kutub atau di puncak beberapa gunung mulai mencair. Ini mengakibatkan volume air laut meningkat, di samping sumbangan emisi yang trennya tak kunjung menurun.

Tentang lingkungan hidup, menurut Sihab pada dasarnya Islam jauh-jauh hari sudah mengandaikan siapa pun untuk memiliki kesadaran lingkungan hidup.

Dari segi kuantitas, ungkapnya, 26% surah dari keseluruhan surah Al-Quran adalah bagian-bagian yang bicara tentang ekologi. Seperti, QS. Al-Baqarah yang artinya sapi, al-Naml yang artinya semut, atau al-Maidah yang berarti makanan.

“Surah-surah ini kan berhubungan dengan lingkungan hidup semua itu ya, semut, makanan, dan sapi,” jelasnya. Lebih detail dari Al-Quran adalah hadis. Dalam hadis, kata Sihab, disebutkan bahwa manusia bersekutu dengan tiga hal, yakni air, hutan atau tanaman, dan api. “Air, hutan, dan api atau energi ini kan sangat ekologi kan,” jelasnya.

Apakah Bumi sudah tidak bisa jadi rumah

Narasumber selanjutnya, Zainal Abidin Bagir, memulai diskusinya dengan pertanyaan, apakah memang Bumi sudah tidak bisa jadi rumah dan manusia harus bergeser ke Mars.

Zain, sapaan akrabnya, memaparkan bahwa sebetulnya bicara tentang masa depan Bumi, bicara tentang dua pertanyaan: terlalu banyak populasi sehingga Bumi tidak mampu menopang atau terlalu banyak konsumsi. Pihaknya cenderung pada kemungkinan yang kedua, yakni bahwa yang menjadikan Bumi tidak baik-baik saja adalah konsumsi yang berlebihan. “Saya teringat ungkapan Gandhi ya soal ini bahwa Bumi ini bisa mencukup kebutuhan semua manusia, tapi tidak untuk keserakahannya,” tegas Zain.

Sederhananya, sebagai konsumen siapa pun bisa turut berkontribusi menjaga bumi dengan mengontrol tingkat konsumsinya. Asumsinya, setiap aktivitas produksi berhubungan dengan eksploitasi alam. Semakin tinggi konsumsi manusia, semakin alam akan dikeruk. Sebab itu, moderator memberikan sebuah konklusi untuk membangun harmoni antara bumi dengan manusia. “Seharusnya kita memposisikan alam sebagai yang sakral. Alam sebagai keluarga. Juga, kita jadikan alam sebagai tanggung jawab dengan konsep Jawa: momong (mengasuh dan menjaga), momor (mendekat dan membaut dan momot (menerima dan menanggung).

 

Penulis: Ipunk | Editor: AL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *