Cita-Cita antara Gengsi dan Dedikasi

Esai, Literasi87 Dilihat

Seputar Pendidikan #4

Aldi Hidayat

Masa depan yang cerah barangkali–untuk tidak menyebut pasti–merupakan watak dasar setiap insan. Pendidikan selalu digadang-gadang sebagai gerbang menuju ke sana. Pendidikan dimaksud dalam pengertian formal, meliputi sekolah dan kuliah dengan seabrek kurikulum, aturan, kode etik dan lain seumpamanya. Ada pula pihak lain yang berpandangan Kiri. Disebut Kiri, karena term ini sering diartikan sebagai gagasan dan gerakan yang menentang kemapanan kelompok dominan. Pihak kiri lebih pro memaknai pendidikan secara bebas; tidak terikat dengan formalitas. Jadi, pendidikan secara gampang menurut mereka tidak harus sekolah dan kuliah.

Terlepas dari pro-kontra terkait formal-tidaknya pendidikan, penulis menangkap semacam kesepakatan umum mengenai cita-cita, selaku tujuan akhir dari pendidikan. Kesepakatan umum ini dalam bahasa yang halus disebut lebih baik dari sebelumnya. Lebih baik dari sebelumnya berkaitan dengan orang tua. Rata-rata orang menghendaki anaknya lebih baik dari diri mereka. Kriteria lebih baik di sini secara global mengerucut pada dua kriteria; Bergengsi dan Ber-uang.

            Bergengsi membuat orang tua enggan anaknya menjalani profesi yang dianggap ketinggalan zaman, seperti petani, peternak dan nelayan. Barangkali faktor industrialisasi membuat tiga profesi ini kurang memikat di mata para generasi. Di sisi lain, boleh jadi lantaran ketiganya tidak mengundang uang yang banyak, akhirnya generasi menjatuhkan pilihan pada “tidak”. Adapun beruang menggoda orang tua untuk mengarahkan anaknya pada profesi yang blak-blakan mengundang uang. Tak heran, Indonesia begitu sering mengekspor tenaga kerja. Terlepas dari aneka pemicu, yang pasti keberangkatan tenaga kerja dipacu oleh keinginan untuk menutupi krisis uang.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Benih-benih Cinta

Dua kriteria itu selama ini dibiarkan, bahkan dikeramatkan. Ia sudah menjelma kelumrahan, bahkan keharusan. Keberadaannya selama ini masuk–meminjam istilah Arkoun, pemikir muslim berdarah Aljazair–dalam unthinkable; wilayah yang tak terpikirkan. Disebut demikian, karena banyak orang tidak mempersoalkannya. Lantaran sudah lumrah, akhirnya kita menobatkannya sebagai kebenaran. Pada titik itulah, G.W.F. Hegel, filsuf Jerman, mengingatkan betapa kebenaran terkadang sejatinya tidak benar. Kita menerima suatu kebenaran terkadang bukan karena ia benar. Ada alasan yang kuat mencengkeram kesadaran kita untuk merengkuhnya sebagai kebenaran. Alasan itu ialah kebiasaan. Oleh sebab sesuatu telah biasa dan familiar, kita menganggapnya sebagai benar. Pertanyaannya sekarang, patutkah dua kriteri itu kita biarkan sebagai sesuatu yang sakral? Adakah kelemahan kronis yang mengendap di dalamnya? Berikut akan penulis utarakan segelintir kelemahan dari dua kriteria itu.

Pertama, bergengsi akan mencecar pikiran untuk menomorsatukan tampilan, bukan nilai. Taruhlah misal, mana lebih bergengsi antara menjadi dosen di kampus ternama dan menjadi dosen di kampus tanah kelahiran yang biasa saja? Tentu jawaban akan menjurus pada yang ternama. Jika ditanya, mana lebih bernilai? Boleh jadi jawaban tetap jatuh pada yang pertama. Persoalannya ialah bukankah kesuksesan sejati adalah kembali ke kampung halaman lalu berjuang menyulamnya lebih maju dari masa silam? Jika semua orang sukses memilih bertahta di tempat yang sudah maju, lalu kapan tanah kelahirannya akan bangkit dari stagnan? Tidakkah lembaga besar pada mulanya dimulai dari dedikasi yang sederhana untuk rakyat jelata?

Baca Juga: Kita Dipaksa Pintar tentang Segala Hal

Bukankah pencetus lebih baik dari penerus? Bukankah megahnya rumah tidak ditengarai oleh cat yang mentereng, tetapi oleh dasar yang kokoh? Tidakkah mobil yang mewah tak kan ada artinya, jika tidak menyala? Tidakkah nyala mobil bersumber dari mesin yang tersembunyi, bukan dari box? Bukankah gengsi sebenarnya tidak lebih dari sekadar bungkus, sedangkan nilai tak ubahnya isi? Mengapa pula bergengsi selama ini dinobatkan sebagai kriteria paten cita-cita? Penulis tidak bermaksud mengharamkan gengsi dalam bercita-cita, karena gengsi adalah sifat bawaan manusia. Islam tidak datang untuk menghapus sifat bawaan, melainkan mendewasakannya. Jadi, penulis menolak gengsi sebagai kriteria utama cita-cita, sehingga melalaikan kita akan vitalnya nilai.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Jalur Pejalan Kaki

Kedua, ber-uang. Esai sebelumnya telah menegaskan legalitas islami mengharap uang dalam pendidikan. Esai kali ini hendak mempertanyakan kriteria ber-uang dalam arti asal mudah dapat uang, maka yang lain tidak perlu dipertimbangkan. Kriteria demikian berpotensi melenyapkan profesi-profesi sumbu kehidupan, yaitu petani, peternak dan nelayan. Berkat tiga profesi inilah, manusia bisa makan. Pejabat mustahil makan uang. Uang hanya alat tukar untuk mendulang nasi produk petani dan lauk-pauk produksi peternak dan nelayan. Bagaimana jika tiga profesi ini habis di Indonesia?

Tentu saja, ekspor sembako akan menjadi agenda utama. Tatkala ekspor sembako menjadi solusi satu-satunya, maka Indonesia akan bergantung pada, bahkan dikelabui nan ditipu oleh bangsa pengimpor. Sementara itu, hutang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp. 1000 triliun. Mampukah kita di masa depan menyeimbangkan antara keharusan melunasi hutang dan keharusan ekspor bahan makanan? Selama ber-uang masih menjadi kriteria sakral dalam cita-cita, maka profesi sumbu kehidupan tinggal menunggu waktu untuk punah. Disebut demikian, karena tiga profesi sumbu kehidupan selama ini surplus bahan makanan, defisit uang. Sementara itu, uang dibutuhkan oleh setiap orang. Akibatnya, tiga profesi tadi dikesampingkan untuk dilenyapkan lantas semua orang sedang dalam peralihan menuju profesi yang menghasilkan uang secara instan.

Uraian di atas hendak membuka akal akan potensi kronis yang bersemayam dalam zona nyaman cita-cita. Pendidikan kita selama ini cukup apatis tentang kelemahan di muka. Lagi-lagi itu dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan yang paternalistik dan monologis. Jika demikian, bagaimana solusi dalam menangkal potensi kronis tadi? Penulis akan melanjutkannya dalam esai episode berikutnya. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar