Cerpen Kisah Kecil Pemulung

Cerpen, Literasi583 Dilihat

Fahrul Rozi

Pemulung berhenti di depan pagar rumah. Karung dan pengaitnya ia taruh di bawah kemudian mendongak dan menengadah. Motor lalu lalang lewat dan anjing menyalak mencium bau orang tak dikenal. Pemulung masih ada di depan pagar, tangannya diturunkan lalu meraih pengait dan karungnya. Ia melirik pada anjing di balik pagar, menggonggong. Ia mendongak lagi, dan meninggalkan rumahku.

Satu hari setelah itu tepat hari minggu ketiga sejak aku pindah. Aku dan keluargaku keluar mengunjungi rumah nenek. Di perjalanan keluar kompleks aku melihat pemulung itu masuk Kompleks Melati. Sekilas kulihat wajahnya yang coklat dan banyak bintik-bintik hitam, celana pendeknya soek sana-sini dengan kaos lusuh serta topi kumal yang melindungi kepalanya. Aku ingin menoleh ke belakang agar bisa melihat lebih jelas, tetapi Indra, kakakku menyuruhku diam. “Kau membuat aku kalah,” keluhnya menghempas android ke punggung kursi.

Kira-kira apa yang pemulung lakukan bila sudah mengait botol di banyak tempat? Apa ia akan pulang lalu tidur? Atau pergi jalan-jalan keliling kompleks melihat rumah gedung? Atau mungkin mengunjungi empang melihat orang memancing? Entah. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan pemulung lakukan.

“Bisakah buku-bukumu kau pangku, mereka menyita banyak tempat, tahu!?”

“Baiklah, aku akan memangkunya dan kau bisa menempatinya sesukamu.” kataku mengambil buku.

Indra melebarkan duduknya lalu berselonjor sehingga kakinya yang besar hampir menyentuh buku. Kami berdua duduk di tengah. Usiaku dan Indra beda dua tahun, dan kami sekolah menengah di satu gedung beda ruang, walau sekolah dasar kami satu ruang, tetapi Indra tetaplah saudaraku yang harus kuhormati, walau kadang aku dibuat  jengkel olehnya.

“Sebentar lagi kita sampai, anak-anak,” kata Ayah dari depan.  “Kalian tahu tidak, Ibu kalian dulu nangis di sini,” lanjut Ayah sembari menoleh ke kiri.

“Itu karena Ayah kalian mengusili ibu,” ayah tertawa, dan bertanya balik pada kami, “Apa ayah buruk, anak-anak?” aku belum menjawab, tetapi Indra menyahut, “Tidak,” Ayah menoleh lagi ke kiri. Ibu menarik bibirnya ke bawah sehingga wajahnya terpotret cemberut. “Dengar sendiri, anak-anak menjawab apa ‘tidak’ berarti aku tidak buruk melakukan itu padamu dulu.” Ayah tertawa lagi, kali ini lebih keras sehingga kami tak tahan dan harus menutup kuping.

Mobil dipinggirkan dari jalan. Mula-mula Ayah keluar lalu satu persatu dari kami dan berjalan mendekati pintu kayu jati lalu Ibu mengetuk pintu satu-dua kali. Berpaling melihat taman kecil di samping rumah. Bunga warna warni tumbuh merekah, palem merah berdiri di sisi kiri taman sehingga taman itu tampak meriah. Aku coba bayangkan membaca buku sore hari di taman itu, mungkin sangat asik. Sementara saudara dan orang tuaku larut dalam obrolan panjang dengan nenek dan sepupu perempuanku di dalam. Tiba-tiba aku teringat pemulung, apa dia sudah kembali ke rumahnya?

Dulu ketika masih SD aku dan Indra selalu diantar Ayah sampai sekolah. Sebelum kami turun ia selalu berpesan, “Jangan dekati orang tak dikenal yang pakaiannya acak-acak. Mengerti anak-anak?” Aku belum mengerti maksud Ayah, makanya aku tidak menjawab, tetapi Indra menjawab dengan tegas. Kurasa Indra lebih pintar karena setiap Ayah dan Ibu berpesan Indra selalu menjawab dengan cepat, dan aku. Aku masih berpikir. Entah.

Setelah pulang sekolah aku segera meraih koran (aku mulai suka baca koran sejak SD) di sana terdapat berita penculikan anak bermotif sebagai orang gila dan pemulung. Sejak itu aku membenarkan pesan Ayah, bahwa jangan dekati orang yang aneh di jalan.

Namun esoknya dari balik jendela kamar aku melihat pemulung berhenti di depan pagar rumah. Ia berlaku aneh dan aku tidak merasa takut atau pun cemas kalau suatu saat ia menculikku. Aku merasa iba dan ingin menolongnya. Dadaku sesak tiba-tiba. Ada yang berbeda dari pemulung itu. Ia  memikul banyak beban di pundaknya sehingga punggungnya bungkuk, begitu kesimpulanku setelah pertama kali melihatnya. Dan mungkin karena itu pula dadaku sesak. Aku memang memiliki fisik yang lemah, bahkan ketika membaca buku aku sering terbawa perasaan.

“Lemah.” Kata Indra ketika melihatku menangis setelah membaca buku.

“Itu cuma fiksi,” ucapnya lagi setelah kuberi tahu buku apa yang kubaca.

***

Hari selasa setelah dua hari menginap di rumah nenek. Kami sekeluarga pulang ke rumah sambil membawa buah mangga sekardus. Selama di rumah nenek kami telah memakan setidaknya satu buah dari sekian mangga yang telah dipetik dari batangnya. Rumah nenek memang sepeti surga. Menurutku rumah itu sepeti dalam buku bergambar yang pernah kubaca sewaktu masih TK.

Dalam perjalanan pulang mobil sempat mogok dan kami semua terpaksa menunggu montir datang. Untung tidak terlalu parah, dan kami bisa melanjutkan perjalanan pulang yang cerah ini.

“Lihatlah, penjahat itu begitu naif ia bisa-bisanya mengelabui kita dengan penampilannya. Tapi sayang, taktiknya tidak berhasil pada kita. Lihatlah, kalau anak-anak bisa lihat di dalam karung terdapat bayi dan anak berumur 5 tahun. Ia akan menjual mereka pada rumah sakit atau pada siapa pun yang membelinya dengan harga tinggi. Dan, anak-anak, kalian sudah besar, sebentar lagi naik kelas 8. Kalian jangan mau dikelabui oleh mereka. Mengerti?”

Aku belum menjawab pertanyaan Ayah, tetapi Indra lebih dulu mengiyakan ucapannya. Sedang aku sibuk memperhatikan pemulung itu. Ia berjalan tertatih-tatih dengan mata menyapu jalan. Ketika matanya terpaku pada botol plastik ia akan mengaitnya dan memasukkannya ke dalam karung. Mobil berjalan, pemulung itu menghilang setelah mobil berbelok ke kanan.

Kami sampai rumah setelah senja jatuh. Pemulung yang kemarin berdiri di depan pagar, duduk di samping rumah tepat di kotak pembuangan sampah sambil memegang koran. Ia tersentak karena mendengar plakson. Kulihat matanya berbinar menanap kaca mobil. Ia masih memegang koran lalu berdiri melihat lebih jelas padaku. Ya, padaku. Aku tidak percaya, di matanya terdapat cahaya dan aku melihat ia tersenyum persis matahari terbit yang ramah.

Setelah turun dari mobil Ayah segera menyuruh satpam mengusir pemulung. Satpam mengangguk lantas berlari menenteng pentungan. Aku menoleh ke luar jendela. Kubayangkan pemulung itu diusir, ia berlari ketakutan sambil mendekap koran. Atau kalau pemulung itu tidak mau pergi, satpam akan mengayuhkan pentungan ke arahnya, membentak seperti anjing di rumah. Aku baru ingat anjing di rumah diambil dari kantor polisi untuk menakuti maling.

Tapi bagaimana kalau pemulung itu tidak takut? Lalu apakah semua pemulung jahat dan memiliki niat buruk pada anak-anak sepertiku?

Aku baringkan badan di atas ranjang, sepanjang malam pemulung itu berkelebat di mataku dan aku tidak bisa tidur karenanya. Di kamar sebelah Indra telah tidur. Kamarku begitu gelap walau sudah kuhidupkan lampu. Aku masih tidak bisa tidur. Mungkin setelah mengisi perut aku bisa tidur. Maka malam itu aku maraih roti di meja makan dan selai. Mengolesnya sampai lima lapisan kemudian pelan-pelan aku kunyah.

Aku kembali ke kamar setelah perut kenyang dan langsung berbaring di atas ranjang. Memejamkan mata menarik selimut sampai menutupi tubuh, memeluk guling, berbalik kanan-kiri, tetapi mataku tak juga lelap. Dan aku tidak berhenti memikirkan pemulung itu dengan pesan Ayah sampai fajar tiba dan aku tertidur karena suntuk semalam.

“Kai, bangun.”

“Bangun… Kai cepat bangun.”

Mataku terasa berat. Ibu sudah berada di depanku. Matahari sudah masuk ke jendela. Aku cepat-cepat ke kamar kecil lalu lekas memakai seragam.

“Nanti naik ojek saja di depan, ya. Ayah ada rapat pagi ini jadi gak bisa nunggu kamu lama-lama,” Aku mengangguk. Angin menyingkap gorden jendela.

“Bu, itu bukannya pemulung yang kemarin?”

Ibu mendekat ke jendela lalu mengangguk. “Kasihan,” lirihnya.

“Bagaimana kalau kita kasih makan. Sepertinya dia kelaparan,” Ibu tersenyum lalu mengangguk.

Tak lama ibu keluar dari dapur menenteng nasi bungkus. “Berikan padanya, Kai.”

“Baik, Bu,”

Aku keluar menggendong tas dengan tangan satu memegang satu bungkus nasi. Kutemukan pemulung itu duduk di depan pagar sambil memegang koran. Terkejut, pemulung itu bangkit dan segera membereskan barangnya. Ia beranjak ke samping dekat kotak sampah.

“Jangan ke sini,” perintahnya, tapi aku tetap mendekat dan menjulurkan makanan.

“Bapak pasti belum makan.”

“Tidak perlu. Aku sudah kenyang.”

“Tidak usah sungkan, ambillah….”

Pemulung itu meraihnya, ujug bibirnya terangkat melukiskan senyum bahagia yang tak pernah kulihat. Matanya bersinar serupa matahari. Ia mendongak dan menengadah. Berdoa.

 

Kranji, 27-01-2020

 

Fahrul Rozi lahir di Sampang. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Saat ini belajar menulis di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *