#1 Apa Itu ‘Ulum?
Aldi Hidayat
‘Ulum adalah bentuk plural (jama’) dari ‘ilm. ‘Ilm secara sederhana berarti tahu. ‘Ilm berarti mengetahui hakikat sesuatu. Demikian menurut al-Raghib al-Ishfahani. Mengetahui hakikat sesuatu dengan kata lain mengetahui sesuatu apa adanya. Demikian menurut Ibrahim al-Syirazi. Ini merupakan pengertian paling dasar dari ‘ilm atau tahu.
Hanya saja, ‘ilm kemudian diperjelas lagi, sehingga muncullah aneka ragam pengertian tentang ‘ilm. Dalam filsafat ilmu, penjelasan itu dibagi dua kategori, yaitu pengetahuan dan ilmu. Pengetahuan berarti sekadar tahu, seperti saya tahu padi, rumah, batu dan lain sebagainya. Sementara itu, ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis. Sebenarnya ada tambahan yaitu terbukti secara empiris. Hanya saja, kriteria ketiga ini mengidap kekurangan, lantaran tak semua pengetahuan bisa dibuktikan secara empiris. Tak heran, Karl R. Popper mengkritisi kecenderungan demikian lalu menawarkan falsifikasi, sebagai metode alternatif dalam menguji pengetahuan.
Penting dicamkan bahwa definisi dan kategori ‘ilm tidak akan selamanya mapan; alias aman dari kritik, evaluasi, pembaharuan, bahkan perombakan. Mengapa? Paling tidak ada 3 yang memengaruhi, yakni keniscayaan perubahan pada diri manusia sebagai pemburu ‘ilm (tahu) dan keniscayaan perubahan pada apa saja selain manusia, sebagai objek tahu. Bahkan, manusia sendiri adalah objek dari ‘ilm (tahu). Tak heran, muncul ilmu psikologi, antropologi, sosiologi dan masih banyak lagi. Faktor ketiga ialah masih banyaknya misteri, sedangkan usia manusia tidak pernah mencukupi. Bahkan, sesuatu yang selama ini kelihatannya terang benderang (sangat jelas) boleh jadi masih mengidap misteri yang belum ditemukan, bahkan belum disadari oleh manusia bahwa ia adalah misteri.
Betapa pun kemapanan pengetahuan selalu dibayang-bayangi oleh potensi kerapuhan, bahkan kehancurannya, bagaimana pun juga, kita tetap butuh kejelasan, sekalipun kejelasan itu berpotensi sebagai sesuatu yang dianggap jelas, bukan jelas dengan sendirinya. Dari kejelasan itulah, manusia akan terus meraba-raba kejelasan demi kejelasan selanjutnya. Pertanyaannya, apa kejelasan mengenai ‘ilm yang akan penulis kemukakan?
Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, ‘ilm secara umum terbagi dua; ‘ilm sebagai metode dan ‘ilm sebagai hasil. ‘Ilm sebagai metode berarti pengetahuan atau ilmu yang berfungsi sebagai alat memproduksi pengetahuan atau baru. Dalam khazanah keislaman, ini seperti ushul fiqih sebagai metode merumuskan fiqih. Gampangnya, ‘Ilm sebagai metode adalah ilmu alat. Adapun ‘ilm sebagai hasil adalah produk dari ‘ilm metode, seperti tadi, yakni fiqih sebagai produk dari Ushul Fiqih.
Bila ditelaah lebih lanjut dalam ranah filsafat, ‘ilm sebagai metode berarti epistemologi (sumber dan cara dalam meraih pengetahuan). Sementara itu, ‘ilm sebagai hasil tak ubahnya ontologi (apa itu pengetahuan). Filsafat kemudian menambahkan aksiologi (lalu untuk apa kemudian pengetahuan itu dihasilkan).
Berbicara pengetahuan, entah secara umum (seputar apa dan bagaimana pengetahuan itu sendiri) atau secara khusus (seperti Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits dan ilmu-ilmu lainnya) mesti melibatkan tiga kerangka besar filsafat di atas. Mengapa? Ini agar pengetahuan dan ilmu yang dihasilkan memiliki akar yang kuat (epistemologi), memuat isi yang jelas (ontologi) dan bisa dipertanggungjawabkan untuk umat manusia, sebagai pemangku atas pengetahuan dan ilmu (aksiologi).
Apakah tiga kerangka filsafat di atas masih bisa dipertanyakan? Tentu bisa sebagaimana telah penulis kemukakan 3 faktor di muka (perubahan manusia, perubahan apa saja selain manusia dan adanya misteri). Apa tiga faktor ini bisa juga dipertanyakan? Tentu juga bisa. Lalu sampai kapan kita akan berhenti mempertanyakan, sehingga bisa mencapai kemantapan?
Penting dicamkan bahwa ‘ilm itu bukan sesuatu yang “siap saji”, tapi sesuatu yang selalu dalam proses “menjadi”. Jikalau terpaksa harus mengatakan apa yang mapan, maka yang mapan adalah perubahan itu sendiri. Kalau begitu, berarti semua pengetahuan dan ilmu yang berserakan selama ini percuma? Tidak sebocah dan tidak sejablay itu memahaminya. Hanya karena setiap hal pasti berubah, bukan berarti tak ada satu pun yang bisa kita jadikan pegangan. Mengubah sesuatu juga butuh pegangan, bukan asal mengubah. Penulis menyebut perubahan sebagai sesuatu yang mapan dalam rangka menangkal fanatisme buta pada suatu pengetahuan, sehingga mengesampingkan pengetahuan lain tanpa alasan dan landasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Pun juga, penulis menyebut manusia butuh pegangan agar saat ia menolak suatu pengetahuan tidak berjalan sembarangan dan serampangan.
Berbicara keniscayaan perubahan, penting kita camkan dua macam kemungkinan, yaitu posibilitas dan probabilitas. Posibilitas adalah kemungkinan yang jauh. Dari saking jauhnya, kemungkinan itu hanya ada dalam khayalan. Probabilitas adalah kemungkinan yang bisa ditakar, ditimbang dan mungkin dicapai oleh manusia. Apa bisa ontologi, epistemologi dan aksiologi dirombak? Sebagai posibilitas, ya mungkin saja. Secara probabilitas, ya tidak bisa (artinya, apa argumen yang lebih tangguh guna mematahkan tiga hal tadi). Apa manusia itu tidak ada? Secara posibilitas, ya mungkin saja. Tapi, secara probabilitas, tentu tidak bisa (apa data dan logika yang lebih kuat guna menunjukkan bahwa manusia memang tidak ada)?
Meski demikian, sesuatu yang oleh manusia dianggap sebagai posibilitas tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti akan menjadi probabilitas. Sederhananya, sesuatu yang oleh manusia dianggap tidak ada, bisa saja suatu saat nanti menjadi ada. Itu artinya, jangan berhenti pada satu ‘ilm, tapi teruslah mencari. Pasalnya, ‘ilm bukan sesuatu yang “siap saji”, melainkan sesuatu yang selalu dalam proses “menjadi”.
Hanya saja, untuk terlibat dalam proses selalu “menjadi”, manusia tidak ada pilihan lain kecuali mengakomodasi sesuatu yang “siap saji”. Yang “siap saji” nanti akan diotak-atik lagi dalam proses selalu “menjadi” untuk kemudian menjadi yang “siap saji” baru lalu diobrak-abrik lagi dalam proses selalu “menjadi” baru. Demikian seterusnya.
Dengan begitu, ‘ilm adalah dialektika antara tetap dan berubah, antara diakui dan disangsi, antara normal dan abnormal serta lain sebagainya. Thomas S. Kuhn menyebutnya sebagai pergeseran paradigma. Bahwa apa yang selama ini dianggap benar, baik, indah dan mapan berpotensi untuk selalu goyang dan goyah untuk kemudian dicarikan penggantinya.
Mencari pengetahuan mesti berpangkal pada kesadaran akan hal di atas; bahwa pengetahuan tidak selamanya mapan, melainkan senantiasa dalam perubahan. Untuk terlibat dalam perubahan, kita mesti berpegang dulu pada yang mapan. Penting diketahui bahwa perubahan di sini tidak dalam arti total. Pengetahuan memang akan selalu berubah, tapi bukan setiap pengetahuan tanpa terkecuali berubah pada waktu yang bersamaan. Ada saat-saat di mana suatu pengetahuan menuntut untuk diubah dan untuk mengubahnya, kita mesti berpilar pada pengetahuan yang katakanlah masih aman dari perubahan. Suatu saat nanti, bisa saja terjadi sebaliknya.
Sebagai pamungkas, mari kita camkan bersama, “Mencari ‘ilm itu harus, tapi merasa sudah punya ‘ilm itu jangan!” Dengan begitu, kita bisa berlomba meraup ‘ilm sebanyak mungkin tanpa merasa sudah mulia. Pada saat yang sama, kita berkenan mengakui pengetahuan kita harus diubah tanpa harus merasa dihina. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta
2 komentar