Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #4

Qurani840 Dilihat

#3 Apa Itu Al-Qur’an?

Aldi Hidayat

Pengertian al-Qur’an yang penulis rumuskan pada esai sebelumnya berlawanan dengan pengertian al-Qur’an rancangan mayoritas ulama. Secara sekilas, keduanya memang bertentangan. Akan tetapi, esai kali ini hendak mendedahkan titik temu tersirat antara keduanya. Untuk itu, penulis akan melansir lebih dulu bagaimana pengertian al-Qur’an rumusan para ulama.

Definisi paling jelas diajukan oleh al-Shabuni sebagaimana berikut ini:

هو كلام الله المعجز المنزل على خاتم الأنبياء والمرسلين بواسطة الأمين جبريل عليه السلام المكتوب في المصاحف المنقول إلينا بالتواتر المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتحة المختتم بسورة الناس.

Ia (al-Qur’an) adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul (Nabi Muhammad SAW) lewat perantara sang terpercaya, Jibril as, yang tertulis di mushaf, yang sampai pada kita secara mutawatir (berkesinambungan), di mana membacanya dinilai ibadah serta yang diawali oleh surat al-Fatihah dan ditutup oleh surat al-Nas.

Jangan Lewati: Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #3

Beberapa penggalan dalam definisi di atas jauh-jauh hari telah dijelaskan oleh al-Suyuthi dalam karyanya, Itmam al-Dirayah li Qurra’ al-Nuqayah. Al-Suyuthi menyatakan bahwa penggalan, “mengandung mukjizat” berfungsi membedakan al-Qur’an dari hadits qudsi, selaku firman Tuhan yang tidak memuat mukjizat. Penggalan “diturunkan kepada Nabi SAW” bertujuan membedakan al-Qur’an dari kitab suci sebelumnya, seperti Taurat, Injil dan Zabur. Penggalan “membacanya dinilai ibadah” untuk membedakan al-Qur’an dari terjemahannya. Jadi, membaca terjemahan al-Qur’an–lanjut al-Suyuthi–tidak bernilai ibadah. Paparan al-Suyuthi ini masih menyisakan beberapa penggalan, yaitu “mutawatir” serta “diawali al-Fatihah dan ditutup al-Nas”.

Sekarang bagaimana mendamaikan definisi yang jelas tersebut dengan definisi rumusan penulis? Sebelumnya, perlu penulis diskusikan apa itu definisi. Dalam logika, pengertian tentang sesuatu ada dua, yaitu definisi dan deskripsi. Definisi berarti menjelaskan sesuatu dengan menyebutkan genus dekat beserta diferensial. Genus adalah himpunan beberapa hal yang masing-masing berbeda hakikatnya satu sama lain. Gampangnya, kita contohkan manusia. Definisi manusia dalam logika adalah hewan yang berpikir. Kata “hewan” adalah himpunan beberapa hal yang berbeda hakikatnya, seperti manusia, singa, kuda, gajah dan lain seterusnya.

Jangan Lewaati: Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #2

Masing-masing hewan ini memiliki kekhasannya sendiri-sendiri, sehingga tidak bisa disamapersiskan. Memang semuanya sama-sama hewan, tapi semuanya sangat saling berbeda. Perbedaan antara manusia dan singa tidak sama dengan perbedaan antara singa jantan dan singa betina. Singa jantan dan singa betina tetap sama-sama singa. Tapi, Anda tidak bisa mengatakan manusia dan singa sama-sama manusia atau sama-sama singa. Keduanya bertemu dalam kelompok yang lebih luas. Kelompok itu menghimpun hal-hal yang hakikatnya saling berlainan. Kelompok itu adalah hewan. Hewan di sini adalah genus dekat. Mengapa disebut genus dekat? Karena tidak ada kelompok di bawahnya yang bisa mempertemukan manusia dan singa. Beda halnya dengan Anda mengatakan manusia dan singa adalah sama-sama makhluk hidup. Adakah kelompok di bawah kelompok “makhluk hidup” yang bisa mempertemukan manusia dan singa? Ada, yaitu hewan. Jadi, makhluk hidup adalah genus jauh bagi manusia dan singa, sebab hubungannya dengan keduanya masih diperantarai oleh “hewan”, bukan bisa berhubungan secara langsung.

Lalu, differensia adalah sifat mendasar yang menjadi pembeda atau sifat khas yang mendasar. Manusia bisa berbunyi, singa juga bisa. Bisa makan, singa juga bisa. Manusia bisa tidur, singa juga bisa. Lalu apa sifat mendasar yang membedakan manusia dari singa dan hewan lainnya? Sifat itu ialah berpikir. Hanya manusia hewan yang berpikir. Hewan lainnya hanya bergerak atas dasar insting (dorongan bawaan). Tak heran, hewan lain hanya bisa makan, minum, tidur, bereproduksi, menyerang dan mempertahankan diri. Semua itu dilakukan bukan atas dasar pertimbangan pikiran, tapi dorongan naluriah dari dalam. Lalu apa hubungannya dengan pengertian al-Qur’an? Berikut penulis tampilkan.

Apa yang mempertemukan al-Qur’an dengan Taurat, Zabur dan Injil? Sama-sama firman Tuhan. Apa ada kelompok lain yang bisa mempertemukan semuanya tanpa harus menyebut kata “firman”? Tidak ada. Lain halnya kalau Anda bilang, semua itu sama-sama sifat Tuhan. Sifat Tuhan masih genus jauh, sebab masih harus diperantarai oleh firman. Untuk itu, pengertian di atas sudah memenuhi syarat pertama definisi, yakni adanya genus dekat. Selanjutnya, apa sifat khas nan mendasar dari al-Qur’an yang membedakan al-Qur’an dari firman lainnya?

Jangan Lewati: Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an

Pengertian di atas mengemukakan secara rinci. Akan tetapi, apakah uraian di atas sah disebut differensia? Sebelum menjawabnya, perlu dicamkan bahwa tujuan definisi ialah komprehensif-rigid. Komprehensif berarti mencakup apa saja yang merupakan bagian dari yang didefinisikan. Rigid berarti menolak apa saja yang bukan bagian dari yang didefinisikan. Kini pertanyaannya, apa pengertian di atas sudah mencakup (komprehensif) apa saja yang memang bagian dari al-Qur’an? Ada beberapa poin jawaban atas hal ini. Pertama, pengertian di atas menyebut kata Mushaf. Saat Nabi SAW menyampaikan al-Qur’an, ia masih berupa bacaan lisan. Kalau pun ditulis, ia masih belum tersusun sebagaimana dalam mushaf. Selain itu, penyebutan kata mushaf sebenarnya sudah menafikan al-Qur’an yang dilisankan oleh Nabi SAW. Barangkali ini terbantahkan oleh fakta bahwa adanya mushaf justru karena sebelumnya, firman Tuhan dilisankan dulu oleh Nabi SAW. Itu sudah tersiratkan oleh penggalan, “diturunkan kepada Nabi SAW”. Baiklah sesi ini aman. Kita lanjut ke sesi berikutnya.

Disebutkan pula kata “mutawatir”. Mustafa al-A’zami dalam karyanya, The History of Qur’anic Text, menegaskan bahwa memang pada masa Abu Bakr, kodifikasi ayat al-Qur’an mensyaratkan setiap orang yang mengaku hafal al-Qur’an mendatangkan 2 saksi bahwa dia menghafalnya langsung di hadapan Nabi SAW. Tapi, masalahnya, kriteria mutawatir malah berbeda-beda. Ada yang menyebut minimal 10, bahkan lebih. Jika begitu, maka al-Qur’an yang sampai ke tangan kita belum sepenuhnya mutawatir, karena Abu Bakr hanya mensyaratkan 2 saksi. 

Lain lagi dengan kodifikasi tahap dua pada masa ‘Utsman di mana kodifikasi ini mengharuskan mushaf lain, seperti milik Ibnu Mas’ud harus dibakar. Tujuannya agar al-Qur’an tersebar secara seragam, bukan beragam. Jelas motif pembakaran di sini bukan validitas mushaf, melainkan demi soliditas dan solidaritas. Mutawatir tidak bisa mengarah pada soliditas dan solidaritas, melainkan validitas. Beda lagi dengan mushaf masa kini yang justru berasal dari mushaf Kairo 1924. Mushaf ini hanya mencantumkan qira’ah (model bacaan) ala Imam Warsy, padahal Nabi SAW menegaskan bahwa al-Qur’an bisa diaji dengan 7 bacaan (qira’ah). Taruhlah misal kata al-shirath dalam al-Fatihah bisa dibaca al-zirath. Keterangannya ada dalam tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab. Lantas mengapa yang tertera hanya al-shirath?

Jangan Lewati: Mencetak Perempuan Peduli Kesehatan Reproduksi

Kemudian ada penggalan, “membacanya dinilai ibadah”. Redaksi yang dipakai adalah tilawah (membaca saja), bukan qira’ah (membaca sambil merenung). Jika demikian, berarti asal baca al-Qur’an bernilai ibadah. Tidakkah tindakan harus disertai niat? Bukankah asal baca sama sekali tidak mencerminkan ibadah itu sendiri? Lebih lanjut, mengapa membaca terjemahan al-Qur’an tidak bernilai ibadah? Bukankah membaca terjemahan membuat muslim non-Arab lebih paham akan isi al-Qur’an? Tidakkah al-Qur’an diturunkan untuk dipahami, bukan sekadar dibaca?

Penggalan terakhir ialah “diawali al-Fatihah dan ditutup oleh al-Nas”. Ini juga belum komprehensif, karena pada masa Nabi SAW, al-Qur’an dibacakan secara acak. Terkait urutannya dalam mushaf saat ini, ada 3 pendapat, yaitu tawqifi (petunjuk langsung dari Nabi SAW), ijtihadi (hasil ijtihad sahabat) dan tawqifi-ijtihadi (sebagaian petunjuk dari Nabi, sisanya hasil ijtihad sahabat). Tiga pendapat ini masih belum menemukan titik temu, apalagi belum jelas mana yang paling valid.

Terhadap beberapa pertanyaan itu, tak heran kemudian muncul kajian revisionisme, yakni membaca lagi dan lagi sejarah al-Qur’an. Semua kesangsian di atas tidak perlu disikapi secara teologis (ini bid’ah, sesat, kafir dan stigma lainnya). Pasalnya, kalau kita memang iman al-Qur’an itu dijaga oleh Tuhan, maka tugas kita ialah membuktikan secara akademis iman itu. Iman jangan dibiarkan, melainkan dipertanggungjawabkan. Iman anti terhadap penghinaan, karena iman adalah kedewasaan menyikapi perbedaan dan kesangsian. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar