#2 Apa Itu Al-Qur’an?
Aldi Hidayat
Salah satu perdebatan klasik yang menggemparkan ialah apa al-Qur’an itu qadim atau hadits? Sebelum mendiskusikannya, penting penulis lansir apa itu qadim dan hadits. Qadim berarti tak berawalan waktu, sedangkan hadits berarti berawalan waktu. Qadim adalah sifat Tuhan, sedangkan hadits adalah sifat ciptaan. Pertanyaan di atas sebenarnya berpucuk pada kegelisahan apakah al-Qur’an itu sifat Tuhan atau ciptaan Tuhan. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) meyakininya sebagai sifat Tuhan, sedangkan Muktazilah menyebutnya ciptaan Tuhan. Disebut sifat Tuhan, karena memang salah satu sifat Tuhan ialah Maha Berfirman (kalam). Disebut ciptaan Tuhan, karena dalam konsep Muktazilah, Tuhan tidak memiliki sifat. Pasalnya, jika Tuhan memiliki sifat, maka akan ada sekutu Tuhan, paling tidak, dari segi ke-qadim-an (tidak berawalan waktu). Konsekuensinya, al-Qur’an bukan sifat Tuhan, karena memang Tuhan tidak punya sifat, melainkan ciptaan-Nya. Kalau pun harus ada sifat, maka sifat itu tidak lain kecuali gerak dari Dzat-Nya. Jadi, jika dikatakan, “Tuhan bersifat Maha Mengetahui”, maka menurut Muktazilah, “Tuhan Maha Mengetahui dengan Dzat-Nya”. Di pihak, lain Aswaja, lebih tepatnya, Asy’ariyah, sekte Tauhid yang digadang-gadang sebagai representasi Aswaja, memahaminya, “Tuhan Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya”.
Terlepas dari perdebatan teologis yang rumit di atas, topik tersebut juga berdempetan dengan pertanyaan, “Apakah lafal dan makna al-Qur’an dari Allah atau maknanya saja yang dari Allah?”. Imam Hanafi berpendapat maknanya saja. Pandangan ini diamini kemudian oleh Fazlur Rahman, pembaharu kajian al-Qur’an kekinian asal Pakistan, dengan menyatakan bahwa Allah SWT mengutus Jibril as untuk menancapkan makna al-Qur’an dalam hati Nabi SAW. Beliau kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Tak heran, Imam Hanafi membolehkan orang shalat tidak menggunakan al-Qur’an (saat baca al-Fatihah misalnya) yang berbahasa Arab, melainkan sah-sah dengan terjemahannya.
Jangan Lewatkan: Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an
Di pihak berbeda, Imam Syafi’i yang didukung oleh mayoritas ulama menyebut bahwa lafal dan makna al-Qur’an dari Allah SWT. Dari situ kemudian dikembangkan hukum bahwa mengaji (membaca lafal) al-Qur’an bernilai ibadah, sebab lafal al-Qur’an adalah dari Tuhan. Akan tetapi, apakah perdebatan ini (tentang lafal dan makna al-Qur’an) bisa menyelesaikan perdebatan tentang ke-qadim-an dan ke-hadits-an al-Qur’an? Secara tersurat memang tidak, karena perdebatan di atas belum memberikan jawaban tegas apakah al-Qur’an itu qadim atau hadits. Kira-kira apa ada jawabannya? Berikut penulis hidangkan.
Syekh Zadah dalam karyanya, Hasyiyat al-Syaykh Zadah ‘ala Tafsir al-Qadhi al-Baydhawi, menegaskan bahwa yang qadim itu kalam nafsi Tuhan. Adapun lafal al-Qur’an itu hadits. Karena memang lafal itu produk makhluk. Sementara itu, kalam nafsi Tuhan bukan berupa huruf dan suara. Apa itu kalam nafsi? Kalam nafsi berarti firman Tuhan. Firman Tuhan pada hakikatnya transendental (di luar jangkauan ciptaan). Karena bersifat transendental, maka tentu firman-Nya bukan huruf dan suara, bahkan kata “firman” sebenarnya tidak cukup mewakili bagaimana sesungguhnya sifat-Nya yang satu ini. Pasalnya, kata “firman” adalah konsep manusia tentang kata-kata Tuhan. Meski demikian, kata “firman” setidaknya bisa menjadi gerbang menuju kata-kata-Nya yang sebenarnya jauh lebih dari sekadar kata-kata. Ibarat plang menuju pantai. Apakah plang dan pantainya sama? Jelas tidak. Lalu mengapa ada plang? Sebagai pengantar menuju pantai. Nanti saat tiba di pantai, akan sangat jelas betapa pantai bukanlah plang.
Jangan Lewatkan: Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #2
Dari qadim-hadits ke lafal-makna al-Qur’an, Muhammad Arkoun, muslim pembaharu asal Aljazair, lantas membagi al-Qur’an kepada tiga tahap. Pertama, tahap transendental yaitu saat al-Qur’an belum diturunkan. Ia masih murni berupa firman Tuhan. Arkoun menyebut bahwa al-Qur’an versi ini bersemayam di Lauh Mahfuzh. Untuk ini, penulis ajukan kritik. Lauh Mahfuzh itu tempat, sedangkan firman (kalam), selaku sifat Tuhan, tidak bertempat. Lalu apa yang ada di Lauh Mahfuzh? Lauh Mahfuzh adalah tempat segala takdir. Jadi, di Lauh Mahfuzh, ada takdir bahwa al-Qur’an akan diturunkan kepada Nabi SAW dan segala lika-likunya dari dulu, kini dan nanti. Dengan demikian, yang bersemayam di Lauh Mahfuzh bukan firman Tuhan, melainkan takdir tentang proses penerjemahan Tuhan akan firman-Nya yang transendental ke dunia yang immanental.
Kedua, tahap oral yaitu saat al-Qur’an dibacakan secara lisan oleh Nabi SAW. Aksin Wijaya menilai bahwa kata “al-Qur’an” sebenarnya menunjuk tahap ini. Jadi, al-Qur’an bukan mushaf yang kita baca selama ini, melainkan firman Tuhan yang dibacakan secara lisan oleh Nabi SAW. Demikian menurut Aksin. Aksin juga menambahkan bahwa kata al-Qur’an sendiri bermakna bacaan. Jadi, cocok membatasi al-Qur’an pada momen itu (saat-saat Nabi SAW menyampaikannya secara lisan).
Ketiga, tahap tulisan. Tahap tulisan dimaksud bukan saat al-Qur’an gencar-gencarnya ditulis oleh sahabat ketika periode turunnya. Akan tetapi, tulisan dimaksud adalah mushaf yang dibakukan pertama oleh khalifah Abu Bakr ra lalu dibakukan lagi oleh khalifah ‘Utsman. Mushaf yang dibakukan oleh ‘Utsman ini kemudian menyebar ke seantero dunia. Arkoun menyebutnya Korps Resmi Tertutup. Disebut resmi, karena memang dibakukan oleh pimpinan politik saat itu. Disebut tertutup, karena sudah dianggap mapan, sehingga tidak boleh mengotak-atiknya lagi, entah dengan cara mengubah, mengurangi atau menambahkan. Korps resmi inilah apa yang kemudian kita sebut Mushaf ‘Utsmani. Lebih lanjut, Aksin menegaskan bahwa teks kitab suci yang kita baca selama ini bukan al-Qur’an, melainkan Mushaf ‘Utsmani, karena memang al-Qur’an hanya nama bagi firman Tuhan yang dulu dibacakan oleh Nabi SAW secara lisan.
Jangan Lewatkan: Mengunjungi Kawan di Surga
Dari paparan di atas, penulis hendak mengambil kesimpulan dengan terlebih dahulu melontarkan sekilas kritik. Terkait nama al-Qur’an, penulis keberatan bila nama ini hanya ditujukan pada firman Tuhan yang dibacakan oleh Nabi SAW secara lisan. Sederhananya, membaca itu butuh objek, entah naskah atau realita. Saat Nabi SAW melafalkan firman Tuhan, sebenarnya beliau bukan membaca (qur’an), melainkan mengucapkan (qawl). Melafalkan apa yang tertanam dalam hati bukan membaca, tapi mengucapkan. Jika demikian, lalu kata al-Qur’an cocoknya menunjuk apa?
Al-Raghib al-Ishfahani menyebut bahwa makna asal dari qara’a, selaku kata kerja Qur’an adalah mengumpulkan. Disebut demikian, karena memang al-Qur’an menghimpun segala hal atau yang dalam esai sebelumnya, berisi segala prinsip kehidupan. Hanya saja, menggali prinsip itu tidak cukup dengan membaca al-Qur’an secara literal. Lalu bagaimana?
Penting dicamkan bahwa al-Qur’an itu terdiri dari dua unsur, yaitu lafal dan makna. Lafal terbagi dua, yaitu pertama, saat-saat Nabi SAW menyampaikannya secara lisan. Kedua, saat firman sudah mewujud tulisan atau biasa disebut Mushaf. Gampangnya, lafal al-Qur’an untuk konteks sekarang adalah Mushaf ‘Utsmani. Adapun makna adalah kalam nafsi Tuhan atau gampangnya maksud Tuhan. Persoalannya, maksud Tuhan ini tidak bisa didapatkan hanya dengan membaca lafal al-Qur’an dengan membatasi diri pada satu pendekatan, apalagi mendewakan satu pendekatan. Mengapa? Sebagaimana Tuhan tidak terbatas, maka kalam nafsi-nya juga tidak terbatas. Lalu bagaimana manusia yang terbatas bisa menggali maksud Tuhan yang tidak terbatas? Caranya ialah tidak mendewakan satu pendekatan, karena setiap pendekatan tentu buatan manusia. Manusia saja terbatas, apalagi pendekatan, selaku buatan manusia. Itu artinya, mencari maksud Tuhan yang tidak terbatas adalah dengan cara tidak henti-hentinya mendalami, mengevaluasi dan mengkreasikan lebih lanjut pemahaman atas lafal al-Qur’an. Jika maksud Tuhan atau makna al-Qur’an mutlak harus dicari, maka sebenarnya al-Qur’an terdiri dari tiga unsur, yakni lafal, makna dan usaha manusia dalam mencari makna di balik lafal tersebut.
Jangan Lewatkan: Jenggot
Kalau begitu, apakah tafsir itu sama dengan al-Qur’an? Bukan sama, tapi bagian dari al-Qur’an. Mengapa? Karena memang al-Qur’an itu lafal dan makna. Makna benar-benar disebut makna, kalau manusia menemukannya. Kalau belum menemukan, maka belum bisa disebut makna. Menemukan butuh usaha. Selain itu, tujuan dari usaha itu adalah yang tak terbatas. Apabila demikian, maka kesimpulannya, al-Qur’an itu ialah proses pencarian manusia terhadap makna transendental Tuhan dalam dialektika antara lafal dan semesta alam. Mengapa tiba-tiba menyinggung semesta alam? Karena membaca al-Qur’an tidak bisa secara literal, tapi harus dengan berbagai pendekatan. Pendekatan meniscayakan kita harus membuka mata lebar-lebar terhadap apa yang ada di luar sana alias semesta alam. Semesta alam bukan sekadar sains, tapi semua ilmu pengetahuan, gagasan, teori, paradigma dan apa saja tanpa hingga. Lantas kapan manusia akan sampai pada makna Tuhan? Nah, justru begitulah memang apa yang disebut mencari makna al-Qur’an atau maksud Tuhan (proses pencarian tanpa henti). Cara kerjanya telah penulis jelaskan secara singkat pada esai edisi perdana, yaitu dengan dialektika antara yang “siap saji” dan proses selalu “menjadi”. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta
1 komentar