#1 Apa Itu Al-Qur’an?
Aldi Hidayat
Ada setidaknya 5 pendapat terkait asal-usul kata al-Qur’an. Pertama, al-Qur’an merupakan kata sifat dari al-qur’u (القرء) yang bermakna mengumpulkan. Kedua, berasal dari kata al-qara’in (القرائن). Ketiga, merupakan nama, bukan berasal dari suatu kata (‘alami murtajal). Artinya, al-Qur’an memang sebatas nama untuk kitab suci umat Islam. Ia bukan suatu kosakata yang kemudian dialihfungsikan menjadi nama. Keempat, berasal dari kata qarana yang berarti menghubungkan, mengaitkan, mendampingkan dan lain seterusnya. Kelima, merupakan mashdar (kata kerja yang dibendakan) dari qara’a (membaca). Ia sama dengan kata qira’ah (قراءة). Al-Zarqani–dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an–menilai pendapat kelima yang paling absah. Pendapat ini diamini oleh mayoritas ulama, khususnya para pakar al-Qur’an. Hanya saja, al-Zarqani tidak merinci alasan mengapa pendapat kelima yang paling absah. Oleh sebab itu, penulis akan merincinya sebagai berikut.
Pertama, jika al-Qur’an adalah kata sifat dari al-qur’u, itu artinya kata al-Qur’an berpola (shighat) fu’lan (فعلان). Sayangnya, shighat ini justru merupakan shighat mashdar. Shighat mashdar lainnya yang serupa adalah fa’lan (فعلان) dan fi’lan (فعلان). Rinciannya tertera di Syarh Alfiyyah, karya Ibnu ‘Aqil, bab Mashdar. Adapun shighat kata sifat (ism fa’il) antara lain fa’il (فاعل), fa’il (فعيل) dan fa’il (فعل). Lazimnya, bentuk kata sifat dalam bahasa Arab mengikuti pola pertama فاعل)). Jika ada kata sifat yang tidak mengikuti bentuk ini, kata sifat itu masuk dalam wazan (pola kata kerja) fa’ila-yaf’alu (فعل يفعل) dan fa’ila-yaf’ilu (فعل يفعل). Dua wazan ini tertuju untuk kata kerja yang tidak butuh objek (intransitif). Bisa pula kata sifat yang tidak mengikuti bentuk lazim tadi berwazan fa’ulu-yaf’ulu (فعل يفعل). Wazan ini untuk kata kerja yang bermakna sifat atau watak. Masalahnya, kata al-qur’u bermakna mengumpulkan, kata kerja yang jelas-jelas butuh objek sekaligus bukan bermakna sifat dan watak.
Jangan Lewatkan: Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an
Beberapa bentuk kata sifat paling tidak terhimpun dalam shighat mubalaghah (bentuk kata sifat yang bermakna superlatif alias bermakna sangat), seperti fa’il (فعيل), fa’il (فعل), fa’ul (فعول), fa”al (فعال) dan mif’al (مفعال). Di sisi lain, ada kata sifat tafdhil (perbandingan komparatif [lebih] dan superlatif [paling]), yaitu af’al (أفعل) untuk jenis maskulin (mudzakkar) dan fu’la (فعلى) untuk jenis feminim (mu’annats). Pertanyaanya kemudian, apa kata sifat yang berpola fu’lan (فعلان), selaku pola dari kata al-Qur’an (القرآن)? Ternyata tidak ada. Tak heran, pendapat pertama di atas tertolak menurut kacamata morfologi Arab (ilmu Sharraf).
Kedua, jika al-Qur’an berasal dari kata al-Qara’in, maka ini perlu dirinci. Al-qara’in adalah bentuk plural (jama’) dari qarinah yang berarti tanda. Qarinah berasal dari kata qarana, di mana kata ini merupakan pendapat keempat terkait asal-usul kata al-Qur’an. Masalahnya, bila qarana kemudian menjadi al-Qur’an, itu artinya ia berpola fu’al (فعآل). Tidak ada bentuk shighat (acuan bentuk kata) semacam ini dalam bahasa Arab. Yang ada adalah fu’lan (فعلان). Bila qarana hendak berpola ini, maka bunyinya bukan Qur’an (قرآن), melainkan Qurnan (قرنان). Pasalnya, huruf tambahan dalam fu’lan ialah alif dan nun yang terletak setelah huruf akhir suatu kata. Huruf akhir qarana adalah nun, bukan hamzah seperti yang tertera pada kata Qur’an. Dengan demikian, tertolaklah pendapat kedua dan keempat tentang asal-usul kata al-Qur’an.
Ketiga, pendapat ini menyebut al-Qur’an memang murni sebagai nama, bukan berasal dari kosakata lain. Gramatika Arab menyebutnya ‘alami murtajal. Nama-nama non-Arab, katakanlah Indonesia misalkan, seperti Yanto, adalah ‘alami murtajal dalam bahasa Arab, yakni nama yang tidak ada asal-usulnya dalam kosakata Arab. Sementara itu, kata al-Qur’an jelas bisa ditelusuri asal-usulnya dalam bahasa Arab. Apalagi, al-Qur’an sendiri menyinggung kata ini sebagai suatu kosakata. Perhatikan ayat berikut:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ.
Sesungguhnya atas (tanggungan) Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (QS. Al-Qiyamah [75]: 17).
Jangan Lewatkan: Jenggot
Selain itu, jika memang al-Qur’an adalah ‘alami murtajal, maka seharusnya ia tidak bisa dita’winkan (berakhiran bunyi nun mati). Pasalnya, ‘alami murtajal bersifat ghairu munsharif (tidak bisa dita’winkan). Nyatanya, al-Qur’an menyebutkan sebaliknya. Perhatikan ayat berikut:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ.
Sesungguhnya kami menurunkannya sebagai Qur’an yang berbahasa Arab, agar kamu mengerti. (QS. Yusuf [12]: 2).
Setelah empat pendapat sebelumnya jelas tertolak, maka tinggal pendapat kelima yang akan penulis buktikan keabsahannya terkait asal-usul kata al-Qur’an. Menurut pendapat kelima, al-Qur’an adalah mashdar dari kata qara’a (membaca). Ia sepadan dengan mashdar qara’a lainnya, yaitu qira’ah. Bentuk mashdar memang ada yang berpola fu’lan (فعلان). Jika demikian, maka kata al-Qur’an punya makna bacaan. Makna ini sesuai dengan kenyataan bahwa al-Qur’an memang bacaan mulia umat Islam. Selain itu, al-Qur’an bukan bacaan biasa layaknya buku, majalah, jurnal, koran dan lain sebagainya.
Jangan Lewatkan: Mengunjungi Kawan di Surga
Lantaran bukan bacaan biasa, maka pendapat kelima ini sebenarnya bisa menghimpun empat pendapat sebelumnya yang tertolak. Al-Qur’an adalah bacaan yang menghimpun semua hal. Hanya saja, semua hal di sini tidak bersifat rinci, melainkan berupa prinsip. Jadi, prinsip segala hal ada dalam al-Qur’an. Demikian pandangan Gus Dur dalam epilognya yang bertajuk “Ulil Abshar dan Liberalismenya” untuk buku Islam Liberal vs Islam Fundamental: Sebuah Pergulatan Wacana. Jauh-jauh hari, al-Syathibi, pakar pamungkas atas Maqashid al-Syari’ah, menyebut bahwa al-Qur’an, bahkan syariah memuat lima inti, yaitu agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Lima hal ini tidak hanya inti syariat, tetapi juga prinsip universal kehidupan. Al-Syathibi bahkan menyebut lima hal ini yang dijamin Tuhan akan terus terjaga sampai penghujung zaman. Sekadar tambahan, al-Qarafi kemudian menambahkan satu prinsip lagi, yaitu kehormatan. Dengan demikian, tercakuplah pendapat pertama yang menyebut al-Qur’an berasal dari al-qur’u (mengumpulkan), karena memang al-Qur’an menghimpun prinsip-prinsip universal kehidupan.
Oleh sebab al-Qur’an hanya berisi prinsip, maka dalam menggalinya, seseorang tidak cukup membacanya secara literal, namun juga melibatkan (al-qara’in/qarana) sumber bacaan lain, seperti hadits, sejarah, ilmu kebahasaan dan berbagai disiplin ilmu yang tiada hingga. Tak ayal, berbagai pembaharuan dalam dunia al-Qur’an bermunculan dari mana saja. Lain lagi dengan jumlah tafsir berbahasa Arab yang berhasil didentifikasi oleh K.H. Afifuddin Dimyathi, berjumlah 450 literatur tafsir. Rinciannya ada dalam karyanya yang berumbul Jam’ al-‘Abir ‘an Kutub al-Tafsir. Ini masih tafsir berbahasa Arab. Lain lagi dengan tafsir berbahasa Indonesia, Inggris, bahasa lokal Indonesia dan bahasa-bahasa lainnya.
Jangan Lewatkan: Mencetak Perempuan Peduli Kesehatan Reproduksi
Sekalipun al-Qur’an adalah mashdar qara’a, ia kemudian beralihfungsi menjadi nama. Nama demikian dalam bahasa Arab disebut ‘alami manqul, kosakata Arab yang kemudian dinobatkan menjadi nama. Jadi, ia sama-sama sebagai nama dengan pendapat ketiga yang menyebut al-Qur’an sebagai ‘alami murtajal. Bedanya, pendapat ketiga menyebut al-Qur’an sebagai nama, sementara pendapat kelima menyebut al-Qur’an sebagai nama yang dialihfungsikan dari kosakata. Demikian diskusi seputar asal-usul kata al-Qur’an. Akhir kata, Wallahu A’lam..
Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta