Achidza Millati
“Dinyatakan Diterima”. Sebuah kabar baik yang meragukan, apakah boleh kuambil kesempatan studi S1 di Perguruan Tinggi Negeri?
Entahlah. Semenjak empat tahun terakhir, aku merasa kehilangan segenggam harapan, bukan karena tak bisa. Tapi karena tak sesuai dengan kemauan orang tua. Bagaimanapun, rasanya ibarat keinginan yang lumpuh sebagian. Keinginan yang selalu bertolak belakang dengan prinsip orang tua dengan dalih “nderek dawuh guru”. Memang benar kenyataannya, tapi tak pernah sejalur dengan kemauanku. Kesempatan emas berpendidikan di sekolah negeri harus kurelakan sirna. Di manapun, orang yang mempunyai nasib sepertiku mesti hanya bisa pasrah, tinggal menjalani saja. Tapi kemauannya sendiri selalu terkubur dalam nan paksa.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Hati yang Selalu Merindukanmu
Terkadang ada rasa lelah menjalani hal yang bukan kemauan diri sendiri, “bolehkah aku melarikan diri, memilih perjalanan belajar yang kumau? Begitu caraku mengeluh pada hati kecil yang tak pernah tersampaikan. Kemungkinan besar jika kusampaikan hanya menyebabkan amarah orang tua jika tak menuruti.
Sedikit cerita masa lalu. Jenjang sekolah selama 12 tahun, masuk di pendidikan negeri adalah sebuah hal yang begitu menyenangkan. Masih teringat bagaimana diriku sungguh mengusahakan cita-cita dan harapan baik untuk ke depannya. Di sana kami saling bersaing, berebut posisi rangking dan nilai tertinggi. Guru-guru kami menyenangkan, cara belajarnya pun menantang. Lulus dengan menduduki nilai UAMBN pararel 5 besar se-sekolah pada zamannya. Tidak menyangka dan sangat kurindukan masa-masa itu.
Selain Berantakan yang Teratur, nikmati: Cinta dan Akal
Hingga saat ini, kupilih kalimat: “Berantakan yang Teratur” sebagai lukisan kisah pengalaman ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, arti kata teratur adalah sudah diatur baik-baik (rapi, beres). Arti lainnya dari teratur adalah berturut-turut dengan tetap. Sedangkan berantakan memiliki arti berserak-serak, cerai-berai, tidak karuan letaknya, atau tidak terpelihara dengan baik. Sudah pasti bahwa kita merencanakan sesuatu, tidak semua kendali hanya di tangan diri sendiri. Ada guru, orang tua, dan tertinggi tentu Tuhan yang menggariskan. Menurutku, jika bisa menyelaraskan semuanya adalah sebuah keharusan yang pasti.
Tapi pada akhirnya aku tahu, yang orang tua dan guru inginkan jauh lebih jelas keadaannya serta tujuannya. Meski harus menerimanya secara perlahan. Hasil pun tercapai sesuai harapan. Beberapa kali sempat berpikir, mungkin jika aku dulu tidak menurutinya entah apa yang akan kudapat. Atau mungkin hanya memperoleh kesenangan belaka yang semua orang bisa. Sudahlah, kusimpan saja pada torehan kecil tentang kerelaanku itu.
Baca Juga: Memaknai Ulang Basmalah
Alhasil, aku hanya perlu bersyukur. Seberat apapun alasannya, yang harus kulakukan tak lain hanyalah bangkit. Nyatanya sekarang, jenjang perkuliahanku terasa menyenangkan saja, dosen yang super baik dengan tugas sewajarnya bagi mahasiswa berlabel pondokan. Sebuah perpaduan yang menyenangkan. Untuk sekarang, masih pada proses studi S1 yang baru kujalani, tersisa 3 tahun ke depan. Ditambah beasiswa KIP Kuliah yang aku dapatkan, lalu apalagi yang mau ditolak? Terima kasih IIQ An Nur-ku.
Aku
Dulu seorang yang selalu mengusahakan kesempatan
Selagi ada, pun selagi bisa
Tapi tidak untuk sekarang,
Sering kehilangan kesempatan yang menurutku perlu
Mungkin, tersebab keadaan yang harus diikhlaskan
Tak apalah
Aku memilih bertahan dengan tujuan yang harus diselesaikan
Terlebih dahulu dan didahulukan
Demi sebuah kata
“Konsisten”
Pastikan: Mendidik Anak dengan Murattal Ank Penuh Animasi Lucu
Achidza Millati, Mahasiswi Prodi PAI Fakultas Tarbiyah IIQ An Nur Yogyakarta