Belajar Mendengarkan

Lanemu232 Dilihat

Oleh Ahmad  Muchlish Amrin

Hari ini. Telah tiba pada suatu masa, di mana manusia lebih senang berbicara dari pada mendengarkan. Diam dan mendengarkan bagai permata rubi yang berkilau.

Di pagi hari, burung berkicau saling bersahutan, kokok ayam dan sapi melenguh di kejauhan, tupai-tupai bercericit berkejaran dari satu pohon ke pohon lain. Kita dengarkan. Kita dengarkan.

Di perkotaan, deru motor dan suara klakson berdebam-debam, sirene mobil ambulance atau mobil polisi yang sedang mengawal para pejabat menuju entah. Kita dengarkan. Kita dengarkan.

Di malam minggu, suara musik jazz, lengking dangdut para biduan, dan di tempat lain lagi nyanyian pujian selawatan. Lirik-lirik dinyanyikan; kadang dengan hati tersenyum kadang terluka. Ya, kita dengarkan. Kita dengarkan.

Di pondok pesantren, suara anak-anak santri mendaras al-Qur’an dan kitab-kitab pelajaran. Di lain waktu, suara guyonan, sebagian bermain air di kamar mandi, atau debam bal-balan. Kita dengarkan. Kita dengarkan.

Kita belajar mendengarkan suara-suara itu dengan seksama dan penuh penghayatan. Hati gembira dan senang. Tapi, pernahkah kita mendengarkan suara-suara indah dalam diri kita? Suara tektek detak jantung, aliran darah, suara gigi atas dan bawah, bulu mata bila berkedip, suara lambung bekerja, suara paru-paru.

Jangan Lewatkan Baca Juga Denyut Pandang.

Lebih mendalam lagi, pernahkah kita mendengar suara hati kita sendiri. Angel and demond yang bertarung tiap waktu. Suara-suara lain dari sebuah ruang hati yang tersembunyi (sirrul qulub)?

Itulah sebabnya, kita selalu diingatkan oleh bilal sebelum khatib naik mimbar; “anshitu wasma’uu rahimakumullahi”.

 

*) Santri Kutub Yogyakarta

ahmad muchlish amrin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar