Apa Itu ‘Ulumul Al-Qur’an?

Literasi, Qurani385 Dilihat

Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #5

Aldi Hidayat

Setelah mendiskusikan apa itu ‘ulum dan apa itu al-Qur’an, kini kita masuk uraian tentang apa itu ‘Ulumul Qur’an. Penting penulis hadirkan kembali bahwa empat esai sebelumnya berpucuk pada gagasan dialektika antara “siap saji” dan proses selalu “menjadi”. Yang “siap saji” dalam ‘Ulumul Qur’an adalah berbagai konsep yang selama ini dianggap baku dalam disiplin tersebut, seperti asbab al-nuzul, naskh, makkiyah-madaniyah dan lain sebagainya. Yang selalu dalam proses “menjadi” adalah tawaran akademis yang masih diperdebatkan keabsahannya untuk diselundupkan ke dalam kajian ‘Ulumul Qur’an, seperti hermeneutika, semiotika, revisionisme dan lain sebagainya. Esai ini akan mendedahkan apa itu ‘Ulumul Qur’an menurut pemahaman yang “siap saji” lalu mendialogkannya dengan apa yang selalu dalam proses “menjadi”.

‘Ulumul Qur’an selama ini mungkin identik dengan ilmu tafsir. Keduanya beda. Gampangnya, ilmu tafsir adalah bagian dari ‘Ulumul Qur’an. Tafsir titik tekannya pada makna, sedangkan ‘Ulumul Qur’an pada apa saja, selama berhubungan dengan al-Qur’an. Tak ayal, ‘Ali al-Shabuni mendefinisikan ‘Ulumul Qur’an sebagai kajian-kajian yang berhubungan dengan kitab suci ini. Hanya saja, al-Shabuni kemudian memaparkan hal-hal yang sudah “siap saji” dalam kajian ini. Ia belum melangkah lebih jauh kepada apa yang merupakan selalu “menjadi” untuk kajian ini. Bagaimana uraian lebih jelasnya seputar yang “siap saji” dan selalu “menjadi” dalam ‘Ulumul Qur’an? Jangan ke mana-mana, tetap bersama kami!

Jangan Lewatkan: Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #4

Amin al-Khuli membagi kajian al-Qur’an kepada dua. Pertama, ma fi al-Qur’an (kajian seputar al-Qur’an) alias kajian internal al-Qur’an. Ini adalah kajian tentang lafal dan makna al-Qur’an. Kajian lafal melahirkan ilmu tajwid (cara mengaji al-Qur’an), ilmu qira’ah (model-model bacaan terhadap ayat al-Qur’an), ilmu rasm (ilmu tentang penulisan lafal al-Qur’an) dan tentu masih banyak lagi, baik secara aktual (memang sekarang sudah ada) atau potensial (suatu saat nanti akan ada). Kajian makna melahirkan takwil dan tafsir. Ini merupakan bagian yang “siap saji”. Adapun bagian selalu “menjadi” adalah ilmu kebahasaan kontemporer, semisal hermeneutika, semiotika, semantik, pragmatika dan lain seterusnya. Jangankan hermeneutika, selaku produk non-muslim, takwil pun masih diperdebatkan keabsahannya untuk diterapkan dalam memahami al-Qur’an. Tak heran, istilah yang dominan selama ini dalam urusan mengungkai makna al-Qur’an adalah tafsir, padahal justru istilah ini hanya disebutkan satu kali dalam al-Qur’an, tepatnya QS. Al-Furqan (25): 33. Sementara itu, istilah takwil disebutkan 17 kali. Terlepas dari rumitnya perdebatan tersebut, poin tulisan ini ialah bagaimana menata kembali yang “siap saji” untuk dikolaborasikan dengan yang selalu “menjadi” supaya tercipta khazanah ‘Ulumul Qur’an yang lebih kaya dan terbuka.

Ambil Saja: Loker Guru Bahasa Inggris Freelance

Kedua, ma hawl al-Qur’an (kajian sekitar al-Qur’an) atau kajian eksternal al-Qur’an. Ini merupakan kajian tentang hal-hal selain al-Qur’an, namun berhubungan dengan al-Qur’an. Biasanya, ini berupa sejarah saat penurunan al-Qur’an, meliputi kondisi sosial, ekonomi, politik dan terutama sirah (sejarah) Nabi SAW, selaku pembawa al-Qur’an itu sendiri. Selama ini, kajian berkenaan ini didominasi oleh eufimisme (membesar-besarkan era Nabi SAW) tanpa data dan analisa yang cakap untuk membuktikan idealitas era beliau. Bukan dalam rangka menjatuhkan kebesaran era beliau, namun iman seharusnya bukan didiamkan, melainkan dipertanggungjawabkan. Kalau memang masa Nabi SAW adalah zaman yang paling ideal, sekalipun ada haditsnya, maka tugas muslim bukan sekadar yakin dan percaya. Modal yakin sangat kurang di hadapan tantangan zaman yang juga membutuhkan modal akal pikiran. Karena itu, buktikan secara akademis apa dan bagaimana idealitas zaman beliau, baik dari segi ekonomi, politik, pendidikan, budaya maupun lain semacamnya. Dari situ, kita bisa memosisikan diri secara bijak dan bajik terhadap idealitas zaman beliau dan realitas zaman kekinian.

Beberapa pendekar ulama muslim klasik sebenarnya secara tidak langsung telah mengundang ke arah tadi. Taruhlah misal al-Thabari, menulis Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya sejarah yang sejak rencana penulisannya, dicanangkan setebal 300.000 halaman, namun lantas diringkas menjadi 30.000 halaman. Ada lagi Ibnu Katsir, menulis al-Bidayah wa al-Nihayah, Ibnu al-Atsir, menulis al-Kamil fi al-Tarikh dan masih banyak lagi. Karya-karya monumental tersebut mengemukakan secara detail apa dan bagaimana sejarah Islam pada umumnya serta apa dan bagaimana sejarah di masa Nabi SAW pada khususnya.

Jangan Lewatkan: Domba Gus Randy Menghadap Tuhan

Termasuk dari kajian eksternal Qur’an ialah kajian seputar tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan al-Qur’an. Tokoh ini tidak harus pakar tafsir, tapi bisa pakar lain yang bersinggungan dengan al-Qur’an. Selama ini, kajian tokoh tersebut cenderung berpusat pada muslim, padahal siapa pun bisa baca al-Qur’an. Alangkah baiknya melebarkan sayap kajian kepada tokoh non-muslim yang berkontribusi terhadap kajian al-Qur’an, bahkan kalau perlu, kepada mereka yang mempelajari Islam secara umum. Sebutan umum untuk non-muslim macam ini adalah orientalis, meskipun keduanya tidak bisa dipersiskan, namun paling tidak bisa diserupakan. Memang, kekhawatiran akan agenda penjajahan terselubung dalam kajian mereka tidak bisa dipungkiri. Maka sebagai bandingannya, penting mengkaji oksidentalisme (kajian deskriptif-kritis atas Barat). Memang non-muslim tidak sebatas Barat dan memang tak semua orang Barat adalah muslim. Oksidentalisme sekadar nama bagi kajian seputar dominasi Barat atas zaman kekinian.

Selain itu, kajian eksternal al-Qur’an ialah resepsi. Resepsi di sini bukan resepsi pernikahan, tetapi dialektika antara al-Qur’an dan masyarakat. Kajiannya kebanyakan berupa bagaimana masyarakat menerima dan membumikan al-Qur’an. Resepsi ini terbagi tiga. Pertama, resepsi estetis yaitu apresiasi masyarakat atas al-Qur’an dalam bentuk seni. Ini taruhlah misal, kaligrafi, tarik suara (tartil, tilawah dll) dan masih banyak lagi. Kedua, resepsi eksegetis yaitu apresiasi masyarakat atas al-Qur’an dalam bentuk penafsiran, seperti ajian kitab tafsir, ceramah bertemakan al-Qur’an, lomba tentang syarhil qur’an (menjelaskan al-Qur’an) dan lain sebagainya. Ketiga, resepsi fungsional yaitu apresiasi masyarakat atas al-Qur’an dalam bentuk memfungsikan al-Qur’an. Ini misalnya ayat al-Qur’an menjadi mantra, jimat, doa penangkal bala, doa untuk orang meninggal, doa untuk anak dalam kandungan dan lain sebagainya. Semua resepsi di atas berpayung nama besar, yaitu “kultural”, yakni bagaimana al-Qur’an membudaya dalam masyarakat.

Kuliah di Kampus al-Quran: PMB IIQ An Nur Jogja 2022-2023

Di sisi lain, penting diperhatikan dan dipertimbangkan mengenai tipologi peneliti. Selama ini, anggapan muslim kebanyakan, “Kalau mau belajar Islam, ya kepada muslim. Kalau mau belajar al-Qur’an, ya kepada muslim yang pakar al-Qur’an”. Anggapan ini memang benar, karena ibaratnya, mana mungkin belajar sepak bola, kalau bukan pada ahlinya. Hanya saja, anggapan ini menjadi keliru, saat penerapannya tendensius. Artinya, kalau yang bicara Islam adalah non-muslim, maka pasti salah. Kalau yang bicara al-Qur’an adalah orientalis, maka pasti salah. Anggapan demikian keliru. Pasalnya, Islam sebenarnya jauh lebih luas dari muslim. Bahkan tidak jarang muslim sendiri menutupi kebenaran Islam. Untuk itu, penting penulis kemukakan tipologi peneliti agar nanti dielaborasi dalam kajian ‘Ulumul Qur’an.

Tipologi ini berkaca pada gagasan Kim Knott. Secara umum, Knott membagi peneliti kepada 2, yaitu orang dalam (insider) dan orang luar (outsider). Dua peneliti ini lantas terperinci menjadi empat. Berikut akan penulis jelaskan dalam kerangka ‘Ulumul Qur’an. Pertama, peneliti murni yaitu orang luar (non-muslim) yang meneliti al-Qur’an tanpa berbaur dengan muslim. Artinya, penelitiannya semata-mata berpatokan pada teks-teks tentang al-Qur’an, baik yang ditulis oleh muslim maupun non-muslim. Hanya saja, dia tidak terjun langsung ke realitas al-Qur’an di tengah-tengah muslim saat dia meneliti. Kedua, partisipan murni yaitu muslim yang mengkaji Islam secara umum dan al-Qur’an secara khusus tanpa melibatkan keilmuan produk non-muslim. Ketiga, peneliti partisipan yaitu non-muslim yang meneliti Islam atau al-Qur’an dengan melibatkan dialog bersama muslim saat ia meneliti. Keempat, partisipan peneliti yaitu muslim yang meneliti Islam atau al-Qur’an dengan melibatkan keilmuan produk non-muslim.

Masing-masing peneliti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tugas kita ke depan ialah bagaimana meracik keempat peneliti dan penelitiannya itu dalam terang ‘Ulumul Qur’an. Dengan begitu, ‘Ulumul Qur’an semakin terbuka, sehingga al-Qur’an bisa hadir secara luas dan luwes seiring berputarnya roda zaman. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar