Seputar Pendidikan #13
Aldi Hidayat
Sudah menjadi wacana umum bahwa tujuan pendidikan ialah menegakkan kebaikan. Dalam terminologi Islam, ini disebut amr ma’ruf. Penegakan ini secara umum menempuh dua jalur, yaitu persuasif dan koersif. Persuasif melalui penyampaian yang menyentuh, sedangkan koersif melalui tindakan menyuruh. Dua jalur ini mesti sama-sama digunakan. Pertanyaannya, jalur mana yang harus diprioritaskan?
Sebelumnya, penting penulis tegaskan bahwa pendidikan dan dakwah tak ubahnya dua kata, satu makna. Ruang lingkup keduanya tumpang-tindih, bahkan sah dikata menyatu. Karena itu, pendidikan tanpa dakwah ibarat otak tanpa pikir, sedang dakwah tanpa pendidikan ibarat pikir tanpa otak. Keduanya harus senantiasa bersinergi.
Penting dibedakan antara amr ma’ruf dan nasehat. Keduanya sama-sama mengandung kritik dan saran. Sayangnya, tidak sedikit orang mencampuradukkan keduanya. Kritik dan saran dari orang lain seakan dianggap perintah atau amr. Akibatnya, argumen perlawanan yang keluar, “Ngapain kau ngurus hidup orang? Urus saja dirimu!” Argumen ini memendam kesan bahwa kritik dan saran identik dengan nyuruh-nyuruh orang. Perintah dan suruhan itu datangnya dari atasan. Jika dari sebaya, maka itu adalah nasihat. Sebagai makhluk sosial, kritik dan saran mutlak dibutuhkan demi kepentingan bersama.
Sementara itu, amr atau perintah adalah kritik dan saran dari atasan, entah agama, negara atau lain seumpamanya. Lantaran bersumber dari atasan, maka amr bersifat menekan dan memaksa. Seolah-olah ruang dialogis tidak ada atau ada, namun lebih memihak pada atasan alias penguasa.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pendidikan Cangkrukan untuk Pengajaran
Orang acapkali tumpang-tindih dalam memahami dua istilah ini. Atas nama amr ma’ruf, suatu pihak merasa berhak mendiskreditkan pihak lain. Atas nama nasihat, penguasa tidak berani tegas memberantas kejahatan. Amr ma’ruf bersifat hierarkis, sedangkan nasihat bersifat emansipatif. Amr ma’ruf adalah relasi atasan-bawahan, sedangkan nasihat adalah relasi kesetaraan. Jika demikian, bagaimana semestinya mempraksiskan dua istilah ini?
Pertama, amr ma’ruf tidak boleh lepas dari ketegasan. Artinya, amr ma’ruf membuka sedikit ruang multitafsir. Pasalnya, ia menuntut untuk dilaksanakan, bukan dipikirkan ulang. Persoalannya kemudian, atasan macam apa yang legitimatif dan legal untuk memaksa. Berkaca pada esai sebelumnya bahwa wewenang dan kekuatan ada dua, yakni koersif dan persuasif. Koersif adalah wewenang yang sudah dilegalkan oleh seperangkat aturan. Aturan itu dilegitimasi oleh kesepakatan. Ini meliputi pemerintah, pengurus di suatu lembaga, perusahaan dan lain sebagainya. Atasan di semua ini berhak memaksa, karena sudah memenuhi syarat legal dan legitimasi.
Kedua, nasihat tidak boleh lepas dari keterbukaan. Pasalnya, ia adalah relasi atas asas kesetaraan. Lantaran setara, maka tidak boleh ada pihak yang memaksa dan dipaksa. Kasus yang cukup menarik baru-baru ini ialah adanya seseorang membuang sesajen. Ia berdalih bahwa tindakannya itu atas nama tauhid. Sesajen adalah praktek syirik. Titik rancunya adalah apakah pelaku merupakan atasan bagi pelaksana sesajen? Apakah dia merupakan kiai, pemuka adat atau lain semacamnya yang berwenang untuk bertindak seperti demikian? Kendati pun dia kiai, dia belum berhak bertindak seperti itu. Pasalnya, kiai adalah pemegang otoritas persuasif, yaitu otoritas atas dasar kewibawaan, bukan koersif, yakni otoritas yang sudah legal dan legitimatif memberi paksaan. Jika dia sama sekali bukan pemegang salah satu dari otoritas tadi, maka tindakannya yang mengatasnamakan amr ma’ruf dan nahy munkar tidak bisa dibenarkan, baik menurut agama, lebih-lebih menurut negara.
Cari Info Kerja? Ini Info Loker Jogja
Amr sendiri oleh agama diartikan relasi atasan-bawahan. Adapun negara mengeluarkan UU Anti Teorisme. Memang, tindakan itu tidak merenggut korban jiwa. Akan tetapi, tindakan itu jelas menelan korban rasa. Tentu saja, rasa pelaku sesajen dikorbankan hingga kemudian muncul dendam antarpenganut keyakinan. Akibatnya, kerukunan, selaku salah satu tujuan sakral menjadi mangsa lanjutan. Adakah ini dibenarkan? Ibn Taymiyah, salah satu tokoh yang diidolakan oleh kaum Islam fundamental malah menyatakan:
إن الله يقيم الدولة العادلة، وإن كانت كافرة ولا يقيم الظالمة، وإن كانت مسلمة. الدنيا تدوم مع العدل والكفر ولا تدوم مع الظلم والإسلام.
Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil, meskipun kafir dan tidak akan menegakkan negara yang lalim, sekalipun muslim. Dunia akan bertahan dengan adil dan kafir dan tidak bisa bertahan dengan lalim dan Islam.
Mengapa? Karena syirik dan kufur adalah problem individual, tepatnya relasi seseorang dengan Tuhan. Ia tidak langsung membawa kekacauan. Karena itu, penanganannya mesti berupa perang argumen, bukan perang sentimen. Sebaliknya, kelaliman adalah problem antarmanusia. Korbannya adalah sentimen. Karena sentimen yang diserang, maka solusi argumen kurang efektif melawan. Oleh sebab itu, problem ini lebih membutuhkan tindakan tegas.
Persoalannya kemudian, amr ma’ruf terkadang simpang-siur dengan kelaliman. Alih-alih menegakkan kebajikan, yang terjadi adalah penghinaan. Bagaimana ini? Di situlah penting relasi dialogis antara amr ma’ruf dan nasihat. Sebagaimana nasihat yang bersifat terbuka, maka amr ma’ruf seharusnya berpijak pada penelitian, bukan semata dokumen agama dan negara yang masih ambigu. Artinya, amr ma’ruf tidak boleh serta-merta berpatokan pada maksud literal dalil agama dan negara.
Mau Sekolah di Jogja? Info PPDB Jogja
Pemahaman atas dalil ini harus terbuka pada dua ujian kebenaran, yakni verifikasi dan falsifikasi. Verifikasi menuntut seberapa banyak bukti, sedangkan falsifikasi menuntut seberapa masuk akal keputusan yang diambil. Karena harus menempuh dua ujian, maka amr ma’ruf harus berpijak pada emansipasi penelitian. Siapa saja berhak meneliti. Masalah mana yang paling benar, silakan nanti diuji lalu dikombinasi. Ini tidak lagi memandang identitas peneliti, karena tolok ukur ujian ialah bukti dan rasionalitas. Dengan begitu, dalil agama dan negara bisa lebih santun dalam mengentaskan berbagai problem kehidupan. Dengan begitu pula, keduanya, khususnya agama bisa dihadirkan sebagai kebutuhan, bukan sebagai kewajiban, apalagi penjajahan. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar