Kuswaidi Syafi’ie
Fenomena yang berkaitan dengan berbagai tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama kerapkali terjadi di negeri ini. Sekelompok orang, baik dengan jumlah yang kecil maupun besar, bisa dengan mudah dan ringan tangan menggebuk kelompok-kelompok lain hanya karena didasari oleh perbedaan pemahaman dan praktek terhadap ajaran-ajaran agama. Keseragaman cara beragama seolah-olah harus dipaksakan menjadi kenyataan. Kontrasnya perbedaan pada dataran paradigmatik dan tindakan, baik disadari maupun tidak, seringkali meletupkan dengus kebencian yang bisa berakibat fatal. Tragedi ‘Sunni vs Syi’ah’ yang terjadi di Sampang Madura pada beberapa waktu yang lalu adalah salah satu contohnya.
Mungkin tanpa disadari oleh kebanyakan mereka yang seringkali bertindak anarkis atas nama keyakinan terhadap agama itu, bahwa praktek keagamaan dengan model demikian sebenarnya telah melabrak isyarat dari kehendak Allah SWT itu sendiri. “Dan seandainya Tuhanmu (wahai Muhammad) berkehendak, niscaya Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu”, firmanNya dalam QS. Hud: 118. Umat yang satu itu tidak lain adalah bahwa mereka tampil dalam kehidupan ini dengan pemahaman dan perilaku keagamaan yang seragam. Akan tetapi telah menjadi gamblang bagi kita semua bahwa Allah SWT tidak menghendaki hal tersebut. Dan karenanya, kebhinekaan menjadi tidak terelakkan di kalangan para pemeluk agama manapun di dunia.
Menyadari tentang adanya keniscayaan perihal pluralitas keberagamaan tersebut, setiap pemeluk agama semestinya sanggup menggabungkan dengan indah dua modus kesadaran sekaligus. Yaitu, semangat religius yang berimplikasi pada pembiasan nilai-nilai dan praktek-praktek keagamaan ke kancah kehidupan sosial secara konkret dan kesadaran spiritual tentang kepastian mengenai adanya keterbatasan yang disandang oleh setiap pemeluk agama. Sehingga ketika merasa berada di ambang batas kenisbian itu, para pemeluk agama (wa bil khushush para pemukanya) kemudian menjadi langsung insaf bahwa mereka betul-betul tidak memiliki kuasa atau kemampuan untuk merubah dan memperbaiki substansi keberagamaan orang lain. Yang bisa mereka lakukan adalah semata berupaya untuk menjajakan berbagai nilai dan praktek keagamaan dengan segenap keramahan, ketulusan dan cinta. Selebihnya adalah urusan Allah SWT semata yang tidak bisa direcoki oleh tangan-tangan para hambaNya.
Lantaran itulah, Nabi Muhammad saw sendiri yang merupakan orang paling dipercaya untuk membawa umat manusia kepada hadiratNya juga “dibatasi” dalam berkiprah. “Engkau tidaklah dibebani kewajiban (wahai Muhammad) kecuali hanya sebatas menyampaikan (risalah kepada umat manusia)”, firmanNya dalam QS. Asy Syura: 48. Dan beliau pun lalu mendedikasikan keseluruhan dari sisa umurnya untuk sepenuhnya menjadi corongan bagi ajaran-ajaranNya yang ditawarkan kepada umat manusia dengan penuh kesabaran dan pengharapan terhadap hidayahNya.
Baca Juga Keengkauan Allah
Lewat keteladanan beliau, agama dengan demikian tidak saja mesti dipahami dan diyakini sebagai kebenaran semata, akan tetapi juga merupakan jalan cinta yang bisa menjadi rute “empirik” bagi siapa saja yang memiliki kesiapan rohani untuk sampai pada derajat kedewasaan spiritual yang ditandai dengan adanya sikap bijak, santun dan penuh kedamaian.
Kebenaran memang merupakan paket kepastian tentang kebaikan yang disodorkan agama kepada umat manusia. Akan tetapi kebenaran agama tanpa cinta tidak lain merupakan kegersangan batin yang sesungguhnya bisa terus-menerus menyiksa siapa saja yang menganutnya. Beragama dengan cara seperti itu berarti rela meletakkan diri, secara sengaja maupun tidak, di bawah tekanan psikis yang rancu dan galau. Dari kondisi psikis yang tidak tentram itulah kemudian muncul sebuah klaim cukup mengerikan secara spiritual bahwa seseorang atau sekelompok orang jadi merasa lebih benar dan lebih mulia dibandingkan dengan orang-orang lain. Pada giliran berikutnya, sebentuk “iman” tersebut lalu mengejawantah dengan postur dan rupa amat halus yang kemudian secara perlahan tapi pasti berproses menjadi semakin beringas: ular kecil yang terkesan “elok” dan tidak membahayakan itu lama-lama berubah menjelma naga yang sangat menakutkan, astaghfirullah.
Agar kita terbebaskan dari taring-taring paham keagamaan yang sedemikian merisaukan itu, kita mesti secara haqqul yaqin berpijak pada filosofi awal yang berada di balik fenomena diturunkannya agama oleh Allah SWT, yaitu cinta dan kasih sayang yang merupakan induk dari sekian sifat kemuliaan yang dimilikiNya. Beragama secara hakiki adalah menebarkan cinta dan kasih sayang kepada kehidupan setelah sebelumnya mempertautkan diri secara kukuh dengan Allah SWT lewat tangga ketaatan, ketulusan dan kerinduan. Dengan ungkapan yang berbeda, beragama adalah upaya habis-habisan untuk selalu meniru akhlak, watak dan perilakuNya yang penuh dengan hikmah dan kelembutan.
Cakrawala keberagamaan amat luas yang ditopang oleh ilmu pengetahuan, kearifan dan cinta akan sanggup mentasbihkan siapa saja sebagai mataair kedamaian dan solusi terhadap berbagai macam persoalan kehidupan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan oleh umat beragama sebenarnya bukan semata pemahaman yang rigid tentang ajaran-ajaran, namun yang juga betul-betul urgen adalah mengolah dan mengukuhkan cinta dan kasih sayang sebagai sebagai predikat diri yang permanen.
Ja’alanallahu wa iyyakum minal muhibbin ila hadhratih wan nafi’in li khalqih, amin.
Kuswaidi Syafi’ie, Penyair juga Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi Sewon Bantul Yogjakarta.
3 komentar