Ahmad Shofiyuddin Ichsan, M.A., M.Pd.
Merujuk dari www.detiknews.com tentang data terbaru terkait populasi umat beragama di dunia tahun 2020, ada yang sangat menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Bagaimana tidak menarik, tak disangka-sangka bahwa kelompok yang tidak berafiliasi dengan agama (baca: agnostik, ateis, dan sejenisnya) semakin melonjak tajam, bahkan menempati peringkat tiga dunia dengan jumlah pengikut 1.193.750.000 di bawah Kristen dan Islam. Sebuah realitas yang perlu disadari bersama bagi umat beragama, lebih-lebih umat mayoritas Islam di Indonesia.
Mungkin bagi sebagian orang merasakan kemirisan dan menyesakkan dada dan bagi sebagian lain hal ini merupakan kewajaran karena mereka sejak awal sudah merasakan seperti itu. Jika merujuk fakta (setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir), agama (baca: simbol agama) sudah terlalu masuk ke dalam panggung politik para oknum. Agama telah berlebihan dijadikan sandiwara antara kepentingan satu dengan yang lain oleh segelintir nafsu umat.
Agama telah menjelma menjadi monster menakutkan, yang siap menerkam siapa pun yang tidak sesuai dengan kehendak segelintir umat itu. Yang ada dalam agama hanya dua pilihan, “jika ikut denganku, kau ke surga. Jika tidak, kau ke neraka”. Seakan-akan agama hanya mengandung warna hitam dan putih, tak ada warna lain selainnya.
Agama menjadi serba simbol. Simbol untuk memonopoli, bukan simbol mengayomi. Simbol melaknat yang tidak sependapat, bukan simbol pembawa rahmat bagi seluruh umat. Inilah yang justru merusak tatanan nilai kesucian agama itu sendiri. Persis di titik inilah menjadi sangat wajar jika kelompok ‘abangan’ di seluruh dunia mulai ‘males banget’ dan ‘muak’ menjalankan agama.
Ini fakta. Semua perlu sadar diri.
Benar kata Karl Marx, jika agama dijadikan alat proyeksi kepentingan pribadi, maka di situlah umat manusia akan mengalami keterasingan dalam hidupnya. Seakan-akan menjadi jelas bagaimana hubungan agama dan kehidupan tak ada ‘kran sambungan’, asing dan begitu asing. Ia semakin terpisah, terpaut begitu jauh dari kenyamanan hidup manusia. Mungkin bagi kita, jelas ini sebuah kesalahan berparadigma. Tapi ini sebuah keniscayaan, teori ini saat ini begitu relevan terlihat gamblang.
Jika di antara kita masih ‘rabun’ melihat realitas demikian, coba kita perbaiki dulu kaca mata kita. Min-Plusnya perlu kita sesuaikan dengan kondisi mata kita, biar semakin jelas dalam memandang realitas yang begitu ‘pedih’ ini. Mari kita tengok sudah seberapa parah (umat ber) agama semakin hari semakin menampakkan eksklusifitasnya. Mereka tidak lagi mau dan tidak mau tau dalam menerima perbedaan pendapat. Menganggap hanya dirinya dan kelompoknya lah yang paling benar. Merek begitu yakin mutlak telah masuk jalan tol ke arah surga, sedangkan yang lain jelas terjerumus ke neraka.
Itu sebuah realitas. Data yang tak bisa lagi terbantahkan.
Ada juga kelompok yang terlalu inklusif. Menganggap bahwa merekalah yang paling toleran, paling memahami apa itu konsep “rahmatan lil ‘alamin”. Padahal jika menelisik lebih dalam lagi, realitasnya pada akhirnya sama. Sama-sama memojokkan (baca: menyalahkan) kelompok yang tidak sesuai dengan dirinya. Mereka menganggap bahwa kelompoknya lah sebagai mayoritas, tapi pada hakikatnya ‘menindas’ dengan versi lainnya.
Inilah faktanya.
Sebagai refleksi kecil, jika umat beragama masih menjunjung egoisme dan hawa nafsu akut seperti itu, sangat wajar manusia dunia semakin tak minat beragama. Agama tidak lagi digunakan untuk menjunjung martabat manusia dan kemanusiaan. Agama tidak lagi demi kedamaian (jiwa dan raga), malah sebaliknya demi mengelola pertikaian (antar sesama).
Saya ingat, setahun yang lalu salah satu teman sealmamater secara terang-terangan tidak lagi menganut agama (Islam). Ia mengakui saat ini sedang menikmati ateisme (ideologi tak percaya adanya Tuhan). Dengan bangga ia mengklaim dirinya “sang ateis bahagia”. Padahal dulunya ia termasuk muslim yang taat beragama. Ia sering menjuarai perlombaan tahfidz Al-Qur’an 5-10 juz. Juga, pernah menjadi imam masjid dan dijadikan panutan umat di kampungnya. Ia menjadi ateis karena baginya semakin beragama justru semakin tak ada guna. Semakin tak manusiawi bagi dirinya dan manusia yang ditemuinya.
Lantas, kita harus bagaimana melihat ini semua? Solusi yang tepat seperti apa?
Jawabnya: tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang!
Ahmad Shofiyuddin Ichsan adalah Dosen Studi Islam IIQ An Nur Yogyakarta yang produktif menulis.
3 comments